Sertifikat Tanah

[Sertifikat Tanah][bsummary]

Notaris

[Notaris Lumajang][bigposts]

Jual Beli

[Jual Beli Tanah][twocolumns]

STUDI PERBANDINGAN TENTANG PENGAWASAN NOTARIS DENGAN PPAT di Lumajang

Notaris Lumajang - Call Center 081338999229

Notaris Lumajang


Dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya sebagai Pejabat Umum, tidak jarang Notaris/PPAT berurusan dengan proses hukum. Pada proses hukum ini Notaris harus memberikan keterangan dan kesaksian menyangkut isi akta yang dibuatnya. Dengan diletakkannya tanggung jawab secara hukum dan etika kepada Notaris, maka kesalahan yang sering terjadi pada Notaris banyak disebabkan oleh keteledoran Notaris/PPAT tersebut. Konsekwensi logis, seiring dengan adanya tanggung jawab Notaris/PPAT kepada masyarakat, maka haruslah dijamin adanya pengawasan dan pembinaan yang terus menerus agar tugas Notaris selalu sesuai dengan kaidah hukum yang mendasari kewenangannya dan dapat terhindar dari penyalahgunaan kewenangan atau kepercayaan yang diberikan.


Adapun tujuan pengawasan Notaris/PPAT adalah agar Notaris/PPAT bersungguh-sungguh memenuhi persyaratan-persyaratan dan menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Perundang-undangan yang berlaku, demi pengamanan kepentingan masyarakat umum. Sedangkan yang menjadi tugas pokok pengawasan Notaris/PPAT adalah agar segala hak dan kewenangan maupun kewajiban yang diberikan kepada Notaris/PPAT dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang diberikan oleh peraturan dasar yang bersangkutan, senantiasa dilakukan di atas jalur yang telah ditentukan bukan saja jalur hukum tetapi juga atas dasar moral dan etika profesi demi terjaminnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat.


Pengawasan Notaris tersebut dilakukan oleh Menteri dengan membentuk Majelis Pengawas Notaris yang terdiri dari MPD di Kabupaten/Kota, MPW di Provinsi dan MPP di Jakarta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 68 UUJN. Pihak yang berwenang melakukan pengawasan terhadap PPAT dalam melaksanakan jabatannya adalah BPN dan IPPAT. Peran BPN dalam hal ini adalah memberikan pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT agar dalam melaksanakan jabatannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan peranan IPPAT dalam hal ini adalah memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap PPAT agar dalam melaksanakan jabatannya sesuai dengan Kode Etik PPAT. Pengawasan yang dilakukan oleh BPN terhadap PPAT hanyalah bersifat fungsional saja, dalam arti hanya memberikan pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT dalam melaksanakan jabatannya. Pengawasan yang dilakukan oleh Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah hanya terhadap PPAT yang menjadi anggota IPPAT saja dan berimplikasi terhadap pemberian sanksi, dalam arti apabila PPAT tersebut diketahui melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik PPAT, maka akan langsung diperiksa dan apabila terbukti melanggar Kode Etik PPAT, maka akan diberikan sanksi sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukannya.


Perbandingan Pengawasan Terhadap Notaris dengan Pengawasan Terhadap Pajabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)


Berdasarkan peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota Susunan Organisasi, Tata Cara Kerja dan Tata Cata Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris Pasal 1 angka 5 menjelaskan mengenai pengertian dari pengawasan yang berbunyi sebagai berikut :


“Pengawasan adalah kegiatan yang bersifat prefentif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap Notaris.”


Wewenang pengawasan atas notaris ada di tangan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Tetapi dalam praktek, Menteri melimpahkan wewenang itu kepada Majelis Pengawas Notaris (MPN) yang dia bentuk. Ketentuan Pasal 67 UUJN menegasan bahwa Menteri melakukan pengawasan terhadap notaris dan kewenangan Menteri untuk melakukan pengawasan ini oleh UUJN diberikan dalam bentuk pendelegasian delegatif kepada Menteri untuk membentuk MPN, bukan untuk menjalankan fungsi-fungsi MPN yang telah ditetapkan secara eksplisit menjadi kewenangan MPN.


Pengawas tersebut termasuk pembinaan yang dilakukan oleh Menteri terhadap notaris seperti menurut penjelasan Pasal 67 ayat (1) UUJN. Ketentuan Pasal 1 angka (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, menegaskan yang dimaksud dengan pengawasan adalah kegiatan prefentif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap notaris, dengan demikian ada 3 (tiga) tugas yang dilakukan oleh MPN, yaitu:


a. Pengawasan Preventif;

b. Pengawasan Kuratif;

c. Pembinaan.


Tujuan dari pengawasan yang dilakukan terhadap notaris adalah supaya notaris sebanyak mungkin memenuhi persyaratan-persyaratan yang dituntut kepadanya. Persyaratan-persyaratan yang dituntut itu tidak hanya oleh hukum atau undang-undang saja, akan tetapi juga berdasarkan kepercayaan yang diberikan oleh klien terhadap notaris tersebut. Tujuan dari pengawasan itupun tidak hanya ditujukan bagi penataan kode etik notaris akan tetapi juga untuk tujuan yang lebih luas, yaitu agar para notaris dalam menjalankan tugas jabatannya memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang demi pengamanan atas kepentingan masyarakat yang dilayani.


Dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya sebagai Pejabat Umum, tidak jarang Notaris/PPAT berurusan dengan proses hukum. Pada proses hukum ini Notaris/PPAT harus memberikan keterangan dan kesaksian menyangkut isi akta yang dibuatnya. Dengan diletakkannya tanggung jawab secara hukum dan etika kepada Notaris/PPAT, maka kesalahan yang sering terjadi pada Notaris/PPAT banyak disebabkan oleh keteledoran Notaris/PPAT tersebut, karenanya sangat diperlukan adanya pengawasan.


Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pengawasan terhadap Notaris/PPAT, maka perlu diuraikan terlebih dahulu mengenai masing-masing jabatan tersebut.


  • 1. Jabatan Notaris


Banyak orang awam yang salah mengerti mengenai Kedudukan, fungsi dan peranan Notaris dalam masyarakat khususnya dalam bidang hukum. Tidak sedikit pula masyarakat yang menganggap bahwa notaris hanya “tukang stempel” yang “kalah pintar” dari advokat/pengacara, sehingga mereka sering membawa draft dari pengacara atau advokat mereka dan meminta notaris untuk menyalinnya dalam bentuk akta otentik.


    • a) Kedudukan Seorang Notaris


Seorang notaris biasanya dianggap sebagai seorang pejabat tempat seseorang dapat memperoleh nasihat yang boleh diandalkan. Segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkannya adalah benar, ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum. Kedudukan seorang notaris sebagai suatu fungsionaris dalam masyarakat yang disegani, namun saat ini kedudukannya agak disalahmengerti oleh kebanyakan orang. Mungkin hal tersebut disebabkan oleh tindakan dan perilaku para notaris itu sendiri.


Pertama-tama yang perlu diketahui bahwa notaris di Indonesia mempunyai fungsi yang berbeda dengan notaris di Negara-negara Anglo-Saxon notary public seperti Singapura, Amerika dan Australia, karena Indonesia menganut sistem hukum Latin/Continental.


Notaris Latin berkarakteristik utama dimana ia menjalankan suatu fungsi yang bersifat publik. Diangkat oleh Pemerintah dan bertugas menjalankan fungsi pelayanan public dalam bidang hukum, dengan demikian ia menjalankan salah satu bagian dalam tugas negara. Seorang notaris diberikan kuasa oleh Undang-Undang untuk membuat suatu akta memiliki suatu nilai pembuktian yang sempurna dan spesifik. Oleh karena kedudukan notaris yang independent dan tidak memihak, maka akta yang dihasilkannya merupakan simbol kepastian dan jaminan hukum yang pasti.


Dalam system hukum latin notaris bersifat netral tidak memihak, dan wajib memperhatikan kepentingan semua pihak yang terlibat. Itu sebabnya seorang notaris dalam menjalankan tugasnya tidak bisa didikte oleh kemauan salah satu pihak sehingga mengabaikan kepentingan pihak lainnya (meskipun sungguh sangat disesalkan bahwa sekarang banyak notaris yang mau didikte oleh pelanggannya sekalipun harus bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau kode etik profesi).


    • b) Fungsi Seorang Notaris


Setiap masyarakat membutuhkan seseorang (figur) yang keterangan-keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercayai, yang tandatangannya serta segelnya (capnya) memberi jaminan dan bukti kuat, seorang ahli yang tidak memihak dan penasihat yang tidak ada cacatnya (onkreukbaar atau unimpeachable), yang tutup mulut, dan membuat suatu perjanjian yang dapat melindunginya di hari-hari yang akan datang.


Selain itu terdapat karakter yuridis Notaris yang ada, yaitu :


1) Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 702 K/Sip/1973, tanggal 5 September 1973 :


Judex factie dalam amar putusannya membatalkan akta notaris, hal ini adalah tidak dapat dibenarkan, karena notaris fungsinya hanya mencatatkan/menuliskan apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang menghadap notaris tersebut. Tidak ada kewajiban bagi notaris untuk menyelidiki secara materil apa-apa (hal-hal) yang dikemukakan oleh penghadap di hadapan Notaris tersebut.


2) Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 3199 K/Pdt/1992, tanggal 27 Oktober 1994 :


Akta otentik menurut ketentuan ex Pasal 165 HIR jo 265 Rbg jo 1868 BW merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak, para ahli warisnya dan orang yang mendapat hak darinya.


3) Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 1140 K/Pdt/1996, tanggal 30 Juni 1998 :


Suatu akta notaris sebagai akta otentik yang isinya memuat 2 (dua) perbuatan hukum, yaitu :(1) Pengakuan hutang, dan (2) kuasa mutlak untuk menjual tanah, maka akta notaris ini telah melanggar adagium. Bahwa satu akta otentik hanya berisi satu perbuatan hukum saja. Akta Notaris yang demikian itu tidak memiliki executorial titel ex Pasal 224 HIR dan tidak sah.


Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut, maka karakter yuridis Notaris dan akta Notaris, yaitu :


  1. Pembatalan akta Notaris oleh hakim tidak dapat dibenarkan, karena akta tersebut merupakan kehendak para penghadap;
  2. Fungsi Notaris hanya mencatatkan keinginan penghadap yang dikemukakan di hadapan Notaris;
  3. Notaris tidak mempunyai kewajiban materil atas hal-hal yang dikemukakan di hadapan Notaris;
  4. Akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna bagi para pihak, para ahli warisnya dan siapa saja yang mendapat hak dari akta tersebut;
  5. Tiap akta Notaris (atau satu akta Notaris) hanya memuat satu tindakan atau perbuatan hukum saja. Jika satu akta Notaris memuat lebih dari satu perbuatan hukum, maka akta tersebut tidak mempunyai kekuatan title eksekutorial dan tidak sah.


  • 2. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)


    • a) Kedudukan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)


Undang-Undang No 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) sejak awal lahirnya telah menimbulkan berbagai macam polemik karena adanya beberapa ketentuan dalam Pasal-Pasal undang-undang tersebut yang bersifat kontroversial. Salah satu diantaranya adalah mengenai keberadaan Pasal 15 UUJN, terutama setelah adanya Keputusan Mahkamah Konstitusi No 009-014/PUU-III/2005 tanggal 13 September 2005 tentang Pengujian UUJN terhadap UUD 1945. Ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN tersebut ternyata hingga saat ini tetap tidak bisa dilaksanakan baik oleh Notaris maupun oleh Badan Pertanahan Nasional.


Masing-masing pihak tetap bertahan dengan argumennya sendiri-sendiri. BPN beranggapan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tidak bisa dipisahkan dengan BPN, keberadaan PPAT itu berdasarkan sejarahnya adalah untuk menjalankan sebagian pekerjaan BPN, karena keterbatasan waktu dan tempat yang jauh, karena negara kita luas, maka PPAT itu kita serahkan kepada Camat dan kita serahkan juga kepada Notaris. Demikian pernyataan seorang petinggi BPN dalam Majalah Berita Bulanan Notaris.


Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tidak mengatur dan bahkan sama sekali tidak menyinggung mengenai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Seperti halnya dengan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria, Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 juga tidak menyebut adanya Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), apalagi mengaturnya. Pasal 19 PP 10 tahun 1961 hanya menyebutkan Pejabat saja.


Di dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No 4 tahun 1996 Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) disebut sebagai Pejabat Umum, yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.


Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau yang disebut pejabat umum itu diangkat oleh Menteri Negara/Kepala Badan Pertanahan Nasional dan masing-masing diberi daerah kerja tertentu. Dengan dinyatakannya Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) oleh Undang-Undang Hak Tanggungan itu sebagai Pejabat Umum, maka diakhiri keragu-raguan mengenai penamaan, status hukum, tugas dan kewenangan Pejabat tersebut. 


Sesungguhnya didalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun juga telah disebutkan mengenai tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah, yaitu sebagai Pejabat yang berwenang untuk membuat akta pemindahan hak milik atas satuan rumah susun dan akta pembebanan hak tanggungan atas satuan rumah susun, tetapi undang-undang ini juga tidak menyebutkan dengan jelas penamaan dan status PPAT. Baru di dalam Undang-Undang Hak Tanggungan (UU No.4 tahun 1996) disebutkan dengan jelas mengenai penamaan, status dan kedudukan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yaitu, sebagai Pejabat Umum.


Ditegaskannya nama, kedudukan dan status hukum Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam Undang-Undang Hak Tanggungan, maka selanjutnya ketentuan umum mengenai Pejabat Pembuat Akta Tanah itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.


Ketentuan Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 menyatakan, bahwa dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Kata-kata dibantu telah menimbulkan salah pengertian pada sementara Pejabat Pembuat Akta Tanah maupun BPN. Pejabat Pembuat Akta Tanah seakan-akan adalah merupakan pembantu dalam arti bawahan Kepala Kantor Pertanahan. Tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah membantu Kepala Kantor Pertanahan, harus diartikan dalam rangka pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah yang menurut Pasal 6 ayat (1) ditugaskan kepada Kepala Kantor Pertanahan.


Kepala Kantor Pertanahan, dalam melaksanakan tugasnya mendaftar hak tanggungan dan memelihara data yuridis yang sudah terkumpul dan disajikan dikantornya yang disebabkan karena pembebenan dan pemindahan hak– di luar lelang– kecuali dalam hal yang dimaksudkan dalam Pasal 37 ayat (2), Kepala Kantor Pertanahan mutlak memerlukan data yang harus disajikan dalam bentuk akta yang hanya boleh dibuat oleh seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah.[1]


Pejabat Pembuat Akta Tanah mempunyai kedudukan yang mandiri, bukan sebagai pembantu pejabat lain. Kepala Kantor Pertanahan, bahkan siapapun tidak berwenang memberikan perintah kepadanya atau melarangnya membuat akta.[2] Pelaksanaan tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah sudah ada ketentuannya dalam Undang-Undang 16 tahun 1985, Undang-Undang 4 tahun 1996, Peraturan Pemerintah No 24 tahun 1997 dan peraturan-peraturan hukum materil yang bersangkutan. Dalam pengertian itulah ketentuan Pasal 6 ayat 2 tersebut harus diartikan.


    • b) Fungsi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)


Menurut Jimly Asshiddiqie, harus dibedakan antara pertanggung jawaban fungsional PPAT dari pengertian pertanggung jawaban hukum dan pertanggung jawaban professional PPAT. Dalam menjalankan fungsinya, PPAT tidak bertanggung jawab secara fungsional kepada siapapun, termasuk kepada Pejabat Pemerintah yang mengangkatnya. PPAT hanya bertanggung jawab secara hukum kepada Hakim di Pengadilan apabila ia disangka dan dituduh melakukan tindak pidana atau jika ia diminta bertanggung jawab secara professional menurut norma-norma etika profesinya sendiri melalui Dewan Kehormatan atau Komisi Etika yang dibentuk oleh organisasi profesinya sendiri.[3]


Sedangkan mengenai surat keputusan pengangkatan dan pemberhentian seorang PPAT hanya mempunyai sifat administratif. Oleh karena itu secara administratif PPAT tetap bertanggung jawab kepada pemerintah yang mengangkatnya. Artinya jika ia tidak memenuhi syarat administratif, ia tidak dapat diangkat menjadi PPAT, sebaliknya jika ia gagal memenuhi bukti-bukti lain yang dapat dijadikan alasan pemberhentiannya dari jabatan PPAT, maka ia akan diberhentikan dari jabatan PPAT oleh pejabat Pemerintah yang mengangkatnya sebagai PPAT.


Berdasarkan uraian-uraian mengenai pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut diatas, terutama setelah berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan tahun 1996, Pejabat Pembuat Akta Tanah yang dimaksud adalah Notaris atau orang-orang yang diangkat menjadi Pejabat Umum oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional setelah terlebih dahulu lulus dalam ujian yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional.


Pelaksanaan jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah diatur dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 32 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 37 Tahun 1998. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah, dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri, dimana semua jenis akta itu diberi satu nomor urut yang berulang pada permulaan tahun takwim.


Kewenangan Menteri Agraria/Kepala BPN untuk menentukan bentuk akta Pejabat pembuat Akta Tanah tersebut adalah kewenangan yang diberikan oleh dirinya sendiri, dan hal itu bermula dari menentukan bentuk akta hipotik dan mengatur hukum acara serta kekuatan hukum dari sertifikat.


Kesalahan dan kekeliruan tersebut terus berlanjut, terutama bertalian atau yang berkenaan dengan akta-akta perjanjian yang bertalian dengan hak atas tanah, demikian pula halnya yang bertalian dengan pejabat yang berwenang membuat akta tersebut, antara lain sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Rumah Susun Nomor 16 tahun 1985, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Perturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.


Permasalahan PPAT semakin bertambah pula dengan belum bisa dilaksanakannya ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN pasca keputusan Mahkamah Konstitusi, sehingga akan semakin panjang pula polemik mengenai kedudukan PPAT. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) sebagai pembuat Undang-Undang bersama-sama dengan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, beranggapan bahwa PPAT itu sudah inheren didalam diri Notaris, sementara BPN beranggapan bahwa Notaris dan PPAT itu merupakan sesuatu yang terpisah dan harus dipisahkan.


Sementara itu organisasi PPAT, Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) melalui Ketua Umumnya menyatakan dan beranggapan bahwa masalah itu bukan merupakan kewenangan dari IPPAT, sehingga jika suatu hari nanti PPAT tidak ada lagi karena keberadaanya dihapuskan oleh undang-undang, maka hal itu harus diterima.


Terus berlanjutnya, bahkan belakangan semakin ramai polemik mengenai kedudukan dan keberadaan PPAT sebagai akibat ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN tersebut, maka akan berpengaruh pula terhadap kepercayaan masyarakat terhadap tugas dan kewenangan PPAT dan juga terhadap PPAT itu sendiri, sehingga PPAT benar-benar berada di persimpangan jalan. Oleh karena itu untuk menjamin adanya kepastian hukum dan untuk dipenuhinya rasa keadilan, serta pula demi tercapainya tertib hukum sesuai dengan system hukum yang dianut dan berlaku di Indonesia, maka dengan pendekatan yang objektif, ilmiah dan argumentatif, jika keberadaan PPAT itu akan tetap dipertahankan, perlu segera dibentuk atau dibuat undang-undang organik yang mengatur tentang jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.


Ketentuan-ketentuan yang selama ini ada tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah dianggap belum cukup memadai, karena walaupun kedudukan, nama dan status Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut telah di sebutkan dengan tegas dalam Undang-Undang tentang Rumah Susun maupun Undang-Undang tentang Hak Tanggungan, tetapi ketentuan mengenai peraturan jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah hanya diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP), yang dianggap masih belum memadai untuk tugas dan peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah.


Disamping itu keberadaan Peraturan Pemerintah No.37 tahun tahun 1998 itu dianggap kurang tepat secara hukum. Keberadaan PP ini sama sekali tidak didasarkan atas perintah undang-undang. Penetapan PP tersebut oleh pemerintah dianggap perlu untuk mengisi kekosongan hukum.


Hal itu dapat dimaklumi, karena dalam teori hukum ada pendapat yang menyatakan bahwa apabila ada kebutuhan untuk mengatasi kekosongan hukum, kepala pemerintahan berwenang berdasarkan prinsip “Freisermessen” menetapkan peraturan yang dibutuhkan untuk kepentingan umum. Namun menurut Jimly Asshiddiqie bentuk hukumnya seharusnya bukan Peraturan Pemerintah, melainkan Keputusan Presiden yang bersifat mengatur.[4] Atau jika keberadaan PPAT memang hendak dihapuskan karena dianggap telah inheren dalam diri Notaris, sebagaimana dikehendaki oleh DPR dan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia seperti yang tersirat dalam ketentuan Pasal 15 UUJN, serta wacana yang berkembang belakangan ini, maka ketentuan itu harus pula dinyatakan dengan tegas dalam undang-undang, sehingga tidak menimbulkan polemik karena adanya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya.


Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung, terdapat karakter yuridis Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yaitu :


1) Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 62 K/TUN/1988, tanggal 27 Juli 2001 : 

Bahwa akta-akta yang diterbitkan oleh PPAT adalah bukan Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 Sub. 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, sehingga tidak dapat dijadikan objek sengketa Tata usaha Negara, karena meskipun dibuat oleh PPAT sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, namun dalam hal ini Pejabat tersebut bertindak sebagai Pejabat Umum dalam bidang perdata.


2) Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 302 K/TUN/1999, tanggal 8 Pebruari 2000 : PPAT adalah Pejabat Tata Usaha Negara karena melaksanakan urusan pemerintah berdasarkan Peraturan perundang-undangan (Pasal 1 ayat (2) Undang-undang nomor 5 tahun 1986, jo Pasal 19 PP nomor 10 Tahun 1961 dan Pasal 5 Peraturan Menteri Negara Agraria nomor 10 Tahun 1961, akan tetapi (akta jual beli) yang dibuat oleh PPAT bukan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara karena bersifat bilateral (kontraktual), tidak bersifat unilateral yang merupakan sifat Keputusan Tata Usaha Negara.


Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut, maka karakter yuridis PPAT dan akta PPAT, yaitu :


1. PPAT sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, karena menjalankan sebagian urusan pemerintahan dalam bidang pertanahan atau dalam bidang pendaftaran tanah dengan membuat akta PPAT sesuai aturan hukum yang berlaku;


2. Akta PPAT bukan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara, meskipun PPAT dikualifikasikan sebagai Pejabat Tata Usaha Negara;


3. Dalam kedudukan sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, PPAT tetap bertindak sebagai Pejabat Umum dalam bidang Hukum Perdata;


4. Akta PPAT tidak memenuhi syarat sebagai Keputusan Tata Usaha Negara, karena akta PPAT bersifat bilateral (kontraktual), sedangkan Keputusan Tata Usaha Negara bersifat unilateral.


Berkaitan dengan kedudukkan Notaris dan PPAT selaku Pejabat Umum, kriteria Pejabat Umum berdasarkan undang-undang, maka dalam hal ini mengacu pada ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata, yang berbunyi: 


“Akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat dimana akta itu dibuatnya”.


Pasal ini merupakan sumber lahirnya dan keberadaan Pejabat Umum yang hanya menjelaskan batasan suatu akta. Pasal ini merupakan sumber lahirnya dan keberadaan Pejabat Umum yang hanya menjelaskan batasan suatu akta otentik, dan tidak menjelaskan siapa yang dimaksud dengan Pejabat Umum, batas wewenang dan tempat dimana Pejabat Umum itu berwenang serta bentuk aktanya.


Suatu akta memperoleh stempel otentisitas, maka harus dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 1868 KUHPerdata.[5]


Selanjutnya menurut Irfan Fachridin, Pasal 1868 KUHPerdata secara implisit memuat perintah kepada pembuat undang-undang supaya mengatakan suatu undang-undang yang mengatur perihal tentang Pejabat Umum, dimana harus ditentukan kepada siapa masyarakat dapat meminta bantuannya jika perbuatan hukumnya ingin dituangkan dalam suatu akta otentik.[6]


Berikutnya menurut Wawan Setiawan mengatakan lahirnya akta otentik jika akta itu dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Umum bukan berdasarkan undang-undang, sehingga dengan demikian bagi yang mempersoalkan apakah akta itu otentik atau bukan otentik hanya bisa dibantah dengan pembuktian bahwa akta tersebut bukan dari Pejabat Uumum.[7]


Apabila dilihat dari kenyataannya pengaturan dalam hukum positif yang merupakan produk hukum nasional, pengaturan Pejabat Umum hanya terdapat pada Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, sebagai implementasi dari Pasal 1868 KUHPerdata, telah menunjuk Notaris selaku Pejabat Umum.


Menurut penulis secara historis Belanda sebagai negara asal adanya Pejabat umum di Indonesia hanya mengenal Notaris sebagai satu-satunya Pejabat Umum yang berwenang membuat akta otentik. Lain halnya di Indonesia yang mengadopsi lembaga Pejabat Umum dari Belanda justru mengenal dua macam Pejabat Umum yaitu : Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang dalam hal tertentu dijabat oleh orang yang sama, yaitu lulusan Spesialis Notariat (sekarang Program Magister Kenotariatan) dan secara essensial keduanya mempunyai fungsi yang sama selaku Pejabat Umum yang diberikan wewenang untuk membuat akta otentik. Titik perbedaannya antara Notaris dan PPAT ini terletak pada:


a) Dasar hukum yang mengaturnya di mana Notaris diatur dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan mulai berlaku tanggal 26 Oktober 2004, dahulu diatur dalam Peraturan Jabatan Notaris (Staatsblad 1860:3), sedangkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT jo. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasionai Nomor 4 tahun 1999. [8]


b) Obyek perbuatan hukumnya, dimana PPAT berwenang membuat akta otentik tentang Hak Atas Tanah dan atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, sedangkan di luar obyek tersebut menjadi wewenang Notaris.


c) Bentuk dan substansi akta PPAT yang diatur dalam PP 37 Tahun 1998 sebagian ketentuan-ketentuannya mengadopsi bentuk dan substansi akta notaris berdasarkan Peraturan Jabatan Notaris (Stbl 1860:3), dan pengadopsian secara parsial ini justru menimbulkan ketimpangan atau ketidakselarasan antara bentuk dan substansi akta otentik menurut Notaris dan PPAT.


Dalam keadaan demikian hal-hal yang tidak diatur dalam Peraturan Jabatan PPAT tidak otomatis berlaku ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Jabatan Notaris (sekarang UU, Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris), karena UU tentang Jabatan Notaris bukan merupakan lex generalis dan PP 37/1998 tahun bukan merupakan lex spesialis mengingat asas lex spesialis derogat lex generalis hanya berlaku bagi Undang-Undang dan bukan bagi Peraturan Pemerintah.


Lingkup substansi tugas pokok PPAT dalam hubungan dengan Hukum Tanah Nasional adalah untuk melaksanakan sebagian kegiatan Pendaftaran Tanah, yang merupakan tugas pokok dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) (Pemerintah), sedangkan tugas pokok Pejabat Umum adalah membuat Akta Otentik. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 6 ayat (2) PP 24 tahun 1997 berbunyi dalam pendaftaran tanah, Kepala Kantor Partanahan dibantu oleh PPAT dan pejabat lain yang ditugaskan melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut PP ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.


Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah dua profesi hukum yang mempunyai nama berbeda, aturan hukum yang berbeda, bentuk akta yang berbeda dan dalam hal tertentu dua profesi hukum ini dijabat oleh orang yang sama yaitu lulusan Program Spesialis Notariat (Sp.N atau CN) atau Program Magister Kenotariatan (MKn) sebagaimana diatur dalam Pasal 3 jo Pasal 17 huruf g dan Pasal 90 UU Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan telah menegaskan bahwa untuk dapat diangkat sebagai notaris salah satu syaratnya adalah berijazah Sarjana Hukum, lulusan jenjang Strata 2 kenotariatan (MKn) atau lulusan program Spesialis Notarist (Sp.N).


Keberadaan Notaris dan PPAT identik dengan Akta Otentik, yang bersumber dari Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal ini hanya merumuskan penaertian atau definisi akta otentik dan menghendaki adanya Pejabat Umum dan bentuk Akta Otentik yang diatur dalam bentuk Undang-Undang, sedangkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengatur siapa yang disebut Pejabat Umum dan bagaimana bentuk Akta Otentik dan untuk mengetahui tentang Pejabat Umum dan bentuk Akta Otentik harus berpijak pada UU organik yang mengatur tentang Pejabat Umum, dimana satu-satunya adalah Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang menggantikan Peraturan Jabatan Notaris (Stbl.1860:3).


Berdasarkan uraian di atas, pengawasan terhadap notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya dilakukan oleh dua lembaga, yaitu Majelis Pengawas (Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat) dan Dewan Kehormatan (Dewan Kehormatan Daerah, Dewan Kehormatan Wilayah dan Dewan Kehormatan Pusat). Majelis Pengawas Notaris dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 67 sampai dengan Pasal 81Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan Keputusan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris sebagai peraturan pelaksanaannya. Ketentuan-ketentuan ini merupakan salah satu upaya untuk mengantisipasi kelemahan dan kekurangan dalam sistem pengawasan terhadap Notaris, sehingga diharapkan dalam menjalankan profesi jabatannya, Notaris dapat lebih meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.


Selanjutnya untuk Dewan Kehormatan merupakan implementasi pengawas terhadap Notaris oleh organisasi notaris, yaitu Ikatan Notaris Indonesia. Dewan Kehormatan merupakan alat perlengkapan perkumpulan yang terdiri dari beberapa orang anggota yang dipilih dari anggota biasa dan werda Notaris, yang berdedikasi tinggi dan loyal terhadap perkumpulan, berkepribadian baik, arif dan bijaksana, sehingga dapat menjadi panutan bagi anggota dan diangkat oleh kongres untuk masa jabatan yang sama dengan masa jabatan kepengurusan.


Dewan Kehormatan berwenang melakukan pemeriksaan atas pelanggaran terhadap Kode Etik dan menjatuhkan sanksi kepada pelanggarannya sesuai dengan kewenangannya dan bertugas untuk:[9]


a. melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota dalam menjunjung tinggi Kode Etik;


b. memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan Kode Etik yang bersifat internal atau yang tidak mempunyai masyarakat secara langsung;


c. memberikan saran dan pendapat kepada majelis pengawas atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan Jabatan Notaris.


Pengawasanan atas pelaksaanaan Kode Etik dilakukan dengan cara sebagai berikut :


a. Pada tingkat pertama oleh Pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Daerah;


b. Pada tingkat banding oleh Pengurus Wilayah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Wilayah;


c. Pada tingkat terakhir oleh Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Pusat.


Berkaitan dengan eksistensi Pejabat Pembuat Akta Tanah selaku Pejabat Umum, hal tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT dan pelaksanaannya dituangkan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 tahun tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 1998.


PPAT yang dalam melaksanakan tugasnya wajib mengikuti aturan, ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40 (PP No. 24 tahun 1997), serta ketentuan dan petunjuk yang diberikan oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk dikenakan tindakan administratif berupa teguran tertulis sampai pemberhentian dari jabatannya sebagai PPAT, dengan tidak mengurangi kemungkinan dituntut ganti kerugian oleh pihak-pihak yang menderita kerugian yang diakibatkan oleh diabaikannya ketentuan-ketentuan tersebut.[10]


Selanjutnya, dalam peraturan jabatan PPAT ( Pasal 10 PP No. 37 tahun 1998 yo. PerKBPN No. 1 tahun 2006) menjelaskan ada dua klasifikasi pemberhentian dari jabatan PPAT, diberhentikan dengan hormat dan diberhentikan dengan tidak dengan hormat. PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena: a. permintaan sendiri; b. tidak lagi mampu menjalankan tugasnya karena keadaan kesehatan badan atau kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa kesehatan yang berwenang atas permintaan menteri atau pejabat yang ditunjuk; c. melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT; d. diangkat sebagai pegawai negeri sipil atau ABRI; Sedangkan PPAT diberhentikan dengan dengan tidak hormat dari jabatannya, karena: a. melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT; b. dijatuhi hukuman kurungan / penjara karena melakukan kejahatan perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya 5 (lima ) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap.


Berdasarkan ketentuan pertanahan, pelanggaran dibedakan menjadi 2 jenis yang menjadi dasar pemberhentian PPAT.


1. Pelanggaran ringan antara lain:


  • a) Memungut uang jasa melebihi ketentuan peraturan perundang-undangan;
  • b) Dalam waktu 2 (dua) bulan setelah berakhirnya cuti tidak melaksanakan tugasnya kembali;
  • c) Tidak menyampaikan laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya;
  • d) Merangkap jabatan.


2. Pelanggaran berat antara lain:


  • a) Membantu melakukan permufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan;
  • b) Melakukan pembuatan akta sebagai permufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan;
  • c) Melakukan pembuatan akta diluar daerah kerjanya kecuali yang dimaksud dalam Pasal 4 dan 6 ayat (3);
  • d) Memberikan keterangan yang tidak benar didalam akta yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan;
  • e) Membuka kantor cabang atau perwakilan atau bentuk lainnya yang terletak diluar dan atau di dalam daerah kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46;
  • f) Melanggar sumpah jabatan sebagai PPAT;
  • g) Pembuatan akta PPAT yang dilakukan, sedangkan diketahui oleh PPAT yang bersangkutan bahwa para pihak yang berwenang melakukan perbuatan hukum atau kuasanya sesuai peraturan perundang-undangan tidak hadir dihadapannya;
  • h) Pembuatan akta mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang oleh PPAT yang bersangkutan diketahui masih dalam sengketa yang mengakibatkan penghadap yang bersangkutan tidak berhak untuk melakukan perbuatan hukum yang dibuktikan dengan akta;
  • i) PPAT tidak membacakan aktanya dihadapan para pihak maupun pihak yang belum atau tidak berwenang melakukan perbuatan hukum sesuai akta yang dibuatnya;
  • j) PPAT membuat akta dihadapan para pihak yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum sesuai akta yang dibuatnya;
  • k) PPAT membuat akta dalam masa dikenakan sanksi pemberhentian sementara atau dalam keadaan cuti; 11. Lain-lain yang ditetapkan oleh Kepala Badan.


Sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 66 ayat (3) peraturan KBPN ini pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT oleh Kepala Kantor Pertanahan sebagai berikut:


1. Membantu menyampaikan dan menjelaskan kebijakan dan peraturan pertanahan serta petunjuk tehnis pelaksanaan tugas PPAT yang telah ditetapkan oleh Kepala Badan dan peraturan perundang-undangan;


2. Memeriksa akta yang dibuat PPAT dan memberitahukan tercara tertulis kepada PPAT yang bersangkutan apabila ditemukan akta yang tidak memenuhi syarat untuk digunakan sebagai dasar pendaftaran haknya;


3. Melakukan pemeriksaan mengenai pelaksanaan kewajiban operasional PPAT.


Pihak-Pihak yang berwenang melakukan pengawasan terhadap PPAT dalam melaksanakan jabatannyaadalah Badan Pertanahan Nasional dan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT). Adapun peranan BadanPertanahan Nasional dalam hal ini adalah memberikan pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT agar dalam melaksanakan jabatannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[11] Sedangkan peranan IPPAT dalam hal ini adalah memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap PPAT agar dalam melaksanakan jabatannya sesuai dengan Kode Etik PPAT.


Berdasarkan hasil penelitian pada kenyataannya untuk pengawasan terhadap notaris tidak menjadi masalah, hal ini dikarenakan sudah ada lembaga yang bertugas untuk melakukan pengawasan, yaitu Majelis Pengawas (MPD, MPW dan MPP). Namun demikian, untuk pengawasan terhadap PPAT, masih terjadi masalah dalam arti tidak terdapat lembaga khusus yang bertugas mengawasi PPAT dalam menjalankan tugas dan jabatannya, sehingga dalam kenyatannya apabila terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT masih terjadi “salah laporan” karena pihak yang merasa dirugikan melaporkannya kepada MPD atau Pengurus IPPAT. Hal ini tentunya menimbulkan masalah tersendiri dalam pelasanaan pengawasan terhadap PPAT dalam menjalankan tugas dan jabatannya.


Pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional terhadap PPAT hanyalah bersifat fungsional saja, dalam arti hanya memberikan pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT dalam melaksanakan jabatannya. Pengawasan yang dilakukan oleh Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah hanya terhadap PPAT yang menjadi anggota IPPAT saja dan berimplikasi terhadap pemberian sanksi, dalam arti apabila PPAT tersebut diketahui melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik PPAT, maka akan langsung diperiksa dan apabila terbukti melanggar Kode Etik PPAT, maka akan diberikan sanksi sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukannya.


FOOTNOTE;

  • [1] Sri Mulyani Syafei, Wawancara. Ketua MPD Notaris Kota Bogor, (Bogor, tanggal 15 Pebruari 2011).
  • [2] Sri Mulyani Syafei, Wawancara. Ketua MPD Notaris Kota Bogor, (Bogor, tanggal 15 Pebruari 2011)
  • [3] www.mahkamahkonstitusi.go.id
  • [4] www.mahkamahkonstitusi.com
  • [5] GHS, Lumban Tobing, Op. Cit.
  • [6] Irfan Fachridin, Kedudukan Notaris dan Akta-aktanya Dalam Sengketa Tata Usaha Negara, Varia Peradilan 111 (1994), hlm. 146.
  • [7] Wawan Setiawan, Kedudukan dan Keberadaan Notaris Sebagai Pejabat Umum Serta Pejabat Pembuat Akta Tanah menurut Sistem Hukum dibandingkan dengan Pejabat Tata Usaha Negara, Makalah (Jakarta: 5 November 1997), hlm. 3.
  • [8] Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang diundangkan dan mulai berlaku tanggal 6 Oktober 2004 sebagai produk hukum nasional menyatakan tidak berlaku lagi Peraturan Jabatan Notaris (Staatsblad 1860:3), sebagai produk hukum kolonial, dan secara substantif UU tentang Jabatan Notaris yang baru tersebut juga berorientasi kepada sebagian besar ketentuan-ketentuan dalam PJN (Staatsbiad 1860:3), dan karena itu kajian dalam penulisan ini tetap mengaju kepada UU No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan dengan membandingkan pada Peraturan Jabatan Notaris(Stbl. 1860:3).
  • [9] Anonim, Himpunan Etika Profesi : Berbagai Kode Etik Asosiasi Indonesia, Pustaka. (Yogyakart : Yustisia, 2006), hlm. 123.
  • [10] Mohammad Andi Rum, Wawancara, Kepala Kantor Pertanahan Kota Bogor, (Bogor, tanggal 22 Pebruari 2011)
  • [11] Mohammad Andi Rum, Wawancara, Kepala Kantor Pertanahan Kota Bogor, (Bogor, tanggal 22 Pebruari 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar