Sertifikat Tanah

[Sertifikat Tanah][bsummary]

Notaris

[Notaris Lumajang][bigposts]

Jual Beli

[Jual Beli Tanah][twocolumns]

Hukum Waris di Indonesia by Notaris Lumajang Call Center: 081338999229

 Notaris Lumajang

Hukum Waris di Indonesia

Hukum Kewarisan Dalam islam

A. Pengertian
Dalam segi bahasa waris berasal dari kata „miras‟, bentuk jamaknya adalah „mawaris‟, yang berarti harta peninggalan orang meninggal yang akan dibagikan kepada ahli waris.[01] Sedangkan secara istilah digunakan kata Kewarisan yang berarti peralihan harta dari yang mati kepada yang masih hidup.[02]

Harta warisan merupakan harta peninggalan (tirkah) yang dapat dibagi kepada ahli waris setelah harta keseluruhan pewaris dipisahkan dari harta suami-istri dan harta pusaka, harta bawaan yang tidak boleh dimiliki, dikurangi hutang-hutang dan wasiat.
  • B. Dasar Hukum

Dasar sumber hukum yang dipakai dalam Kewarisan Islam adalah Hukum Islam (fiqh) yaitu berdasar Nash atau teks yang terdapat dalam al-Qur'an dan al-Hadits, dan juga ijtihad para ulama.[03]

Al-Qur'an merupakan sumber hukum waris yang didalamnya tiap-tiap ahli waris. Seperti pada al-Qur‟an surat an-Nisa ayat 7, 11, 12, 176 dan surat-surat lainnya.[04]

 

[05]

Artinya:"Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.(QS. An-Nisa' : 7).

[06]



 

 

 

Artinya: "Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separoh harta. dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian- pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.ini adalah ketetapan dari Allah.Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. An-Nisa‟ : 11).

 

Adapun Hadits nabi yang menjelaskan tentang kewarisan Islam adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:

[07]

Artinya: "Berikanlah faraidh (bagian yang ditentukan) itu kepada yang berhak dan selebihnya kepada laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat”. (HR. Imam Bukhari)

Selain dasar al-Qur‟an dan al-Hadits sebagai pedoman kewarisan Islam, hasil Ijtihad „ulama juga diperlukan. Ijtihad yaitu terdapatnya dalil pada hal-hal yang tidak ditentukan dalam alQur'an maupun al-Hadits. Misalnya mengenai bagian warian banci (ahli waris).[08]

 

  • C. Rukun dan syarat


Rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian harta waris di mana bagian harta waris tidak akan ditemukan bila tidak ada rukun-rukunnya.Sebagai contoh adanya wali nikah dalam suatu perkawinan harus ada, karena wali termasuk dalam rukun-rukun dalam melangsungkan pernikahan.Maka, apabila wali tidah ada pernikahan tersebut tidah sah.

Sehubungan dengan pembahasan hukum waris terdapat rukun-rukun dalam waris-mewarisi.Rukun-Rukun tersebut antara lain adalah : [09]

a) Pewaris (al-Muwarrits) yaitu orang yang meninggal dunia atau mati, baik mati hakiki maupun mati hukmiy (suatu kematian yang dinyatakan oleh keputusan hakim atas dasar beberapa sebab, kendati sebenarnya ia belum mati, yang meninggalkan harta atau hak).

b) Ahli waris (al-Warits) adalah seseorang yang hidup atupun anak dalam kandungan yang mempunyai hak diwarisi harta, meskipun dalam kasus tertentu akan terhalang.
 

c) Harta warisan (al-Mauruts) adalah adalah harta benda yang akan menjadi harta warisan. Sebagian ulama faraidh menyebutnya dengan mirats atau irts.

Jika salah satu dari rukun tersebut tidak ada, waris-mewarisi pun tidak bisa dilakukan. Barangsiapa yang meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli waris atau mempunyai ahli waris, tapi tidak mempunyai harta waris, maka waris-mewarisi pun tidak bisa dilakukan karena tidak terpenuhinya rukun-rukun waris.

Dalam melaksanakan hukum waris,selainrukun-rukun waris, juga yang perlu jalankan terkait syarat-syarat dalam hukum kewarisan.Syarat-syarat dalam waris-mewarisi berfungsi sebagai pergantian kedudukan dalam memiliki harta benda antara orang yang telah meninggal dunia dengan orang yang masih hidup yang ditinggalkannya (ahli waris).[10]


Adapun syarat-syarat tersebut, yaitu:

  • a) Meninggalnya orang yang mewariskan (muwarrits);
  • b) Ahli waris yang hidup, baik secara hakiki maupun Hukmiy setelah kematian pewaris; dan
  • c) Mengetahui sebab-sebab waris-mewarisi seperti garis kekerabatan, perkawinan dan perwalian.


  • D. Asas-asas Kewarisan Islam


Dalam kewarisan Islam terdapat asas- asas yang mengatur harta warisan. Asas-asas tersebut berkaitan dengan sifat peralihan harta kepada ahli waris, cara peralihan, kadar jumlah yang diterima serta waktu terjadinya peralihan harta tersebut, adalah sebagai berikut:[11]


  • a) Asas Ijbari


Menurut hukum Islam peralihan harta warisan secara otomatis atau berlaku dengan sendirinya kepada ahli warisnya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan ahli waris maupun pewaris.[12] Peralihan tersebut dinamakan peralihan secara asas ijbari, dimana ahli waris secara otomatis berhak mendapatkan harta dari pewaris.


Dijalankannya asas ijbari dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada kehendak dari pewaris atau permintaan dari ahli warisnya. Hal ini berbeda dengan kewarisan menurut hukum perdata (BW) yang peralihan hak kewarisan tergantung kepada kemauan pewaris serta kehendak dan kerelaan ahli waris yang akan menerima, tidak berlaku dengan sendirinya.

 

  • b) Asas Bilateral


Istilah bilateral bila dikaitkan dengan sistem keturunan berarti kesatuan kekeluargaan, dimana setiap orang menghubungkan dirinya dalam hal keturunan kepada pihak ibu dan pihak bapaknya.[13] Asas bilateral dalam hukum Kewarisan Islam mengandung arti bahwa harta warisan beralih atau melalui dua hal, maksudnya ahli waris mendapatkan harta waris baik dari keturunan laki-laki maupun dari keturunan perempuan.


  • c) Asas Individual


Hukum Islam mengajarakan asas kewarisan secara individual, ini berarti bahwa harta warisan berhak dimiliki secara perorangan. Masing-masing ahli waris menerima bagiannya secara tersendiri, tanpa terikat dengan ahli waris yang lain. Jadi. Bukan asas kolektif seperti dianut dalam sistem hukum adat Minangkabau,[14] bahwa harta pusaka itu diwarisi bersama-sama oleh klan atau suku dari pihak ibu saja.

Asas Individual dalam hukum Islam dapat diketahui dari firman Allah dalam surat An-Nisa‟ ayat 7, 11, 12, 33, 176 yang menegaskan setiap (seorang) laki-laki maupun perempuan mendapat hak warisan dari pihak ayah maupun pihak ibu, juga bagian penerimaan harta, hanya ditujukan pada perorangan.

 

Dalam hal ada ahli waris yang tidak memenuhi ketentuan untuk bertindak atas hartanya (seperti belum dewasa), maka harta warisan yang diperolehnya berada di bawah kuasa walinya dan dapat dipergunakan untuk belanja kebutuhan sehari-hari anak tersebut. Hal ini didasarkan kepada firman Allah dalam surat An-Nisa‟ayat 5 yang menyatakan tidak bolehnya menyerahkan harta kepada safih, yaitu orang yang dalam ayat ini berarti “belum dewasa”.


  • d) Asas Keadilan Berimbang


Dalam hukum kewarisan asas keadilan berimbang, secara sadar dapat dikatakan bahwa baik laki-laki maupun perempuan sama-sama berhak tampil sebagai ahli waris yang mewarisi harta peninggalan.[15] Hal ini menunjukan bahwa berbedaan gender tidak menjadi persoalan dalam menentukan besar kecilnya harta yang didapat, karena ahli waris laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang sama.


  • e) Asas semata atas Kematian


Hukum Islam Hukum menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan menggunakan istilah Kewarisan hanya berlaku karena ada yang meninggal dunia. Asas ini menjelaskan bahwa peralihan harta tidak bisa terjadi apabila tidak ada meninggal dunia.


  • E. Hak dan Kewajiban Ahli Waris Terhadap Pewaris


Harta peninggalan mencakup semua harta yang ditinggal oleh si mayit (pewaris). Maka, yang dilakukan oleh ahli waris adalah membagi harta keseluruhan milik si mayit. Penentuan bagian hak waris juga dilakukan setelah terlebih dahulu memperhatikan berbagai hak yang menyangkut harta peninggalan (tirkah) tersebut, sebab pewaris semasa hidupnya mungkin mempunyai hutang yang belum terbayar, meninggalkan suatu wasiat (pesan) dan sebagainya.[16]


Hak dan kewajiban ahli waris yang berhubungan dengan harta peninggalan (tirkah) tersebut adalah:

  • a)-- Tajhiz (Biaya penyelenggaraan jenazah) yaitu segala yang diperlukan oleh seseorang yang meninggal dunia mulai dari wafatnya sampai kepada penguburannya.
Diantara kebutuhan tersebut antara lain biaya memandikan, mengkafankan, menguburkan dan segala yang diperlukan sampai diletakkannya ke tempat yang terakhir.[17] Imam Ahmad mengatakan bahwa pengurusan jenazah harus dilaksanakan dahulu kemudian setelah itu membayar hutang. Sedangkan menurut Abu Hanifah, Imam malik dan Imam Syafi‟i menyatakan bahwa pelunasan hutang harus didahulukan, dengan alasan jenazah itu ibarat tergadai makaharus dilunasi terlebih dahulu.[18] Dalam hal ini yang menjadi dasar hukum terkait biaya pengurusan jenazah seharusnya dilakukan secara wajar dijelaskan dalam al-Qur‟an surat alFurqan ayat 67 :
[19]



 

Artinya : “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak pula kikir, dan adalah(pembelanjaan itu) ditengah-tengah antara yang demikian”. (QS. Al-Furqan : 67).


  • b)-- Hibah


Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.[20] Pemberian semacam ini dilakukan oleh seseorang kepada orang lain dengan tidak ada unsur paksaan. Hibah dilakukan pada saat orang yang memberi masih dalam keadan hidup atau belum meninggal dunia.


Penetapan pemberian harta benda semasa hidup pewaris kepada ahli waris, di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan hibah wasiat. Hibah wasiat adalah penetapan pembagian harta pada masa hidup orang yang memberi, waktu pembagiannya pun dilakukan semenjak saat matinya si pemberi hibah.

 

  • c)-- Kewajiban Membayar Zakat


Seorang ahli waris harus menghitung harta peninggalan orang tuannya, sebelum harta peninggalan dibagi kepada ahli waris lainnya. Terdapat hal yang perlu dihitung sebelum pembagian harta peninggalan yaitu menghitung dan melaksanakan kewajiban pembayaran zakat yang belum sempat dilaksanakan oleh orang tuanya (orang yang meninggal/pewaris). Jumlah besarnya zakat yang harus dikeluarkan dan dibayarkan harur sesuai dengan prosentase yang telah ditentukan oleh syariat Islam, misalnya pada zakat pertanian yang butuh pengairan dikelurkan zakatnya sebesar 5%, pertanian yang tadah hujan sebesar 10%, dan zakat perdagan sebesar 2,5%. Adapun nishabnya zakat pertanian adalah 5 wasq atau setara dengan 750kg. Apabila hasil pertanian termasuk makanan pokok, seperti beras, jagung, gandum, kurma, dan lain sebagainya, maka nishabnya adalah 750 kg dari hasil pertanian tersebut. Tetapi jika hasil pertanian itu selain makanan pokok, seperti buah-buahan, sayursayuran, daun, bunga, dan lain sebagainya, maka nishabnya disetarakan dengan harga nishab dari makanan pokok yang paling umum di daerah (negeri) tersebut (di negeri kita adalah beras).

 

Adapun nishab zakat perdagangan mengikuti zakat pada emas dan perak. Nishabemas adalah 20 dinar (85 gram emas murni) dan perak adalah 200 dirham (setara 672 gram perak). Artinya bila seseorang telah memiliki emas sebesar 20 dinar atau perak 200 dirham dan sudah setahun, maka ia telah terkena wajib zakat, yakni sebesar 2,5%.[21]

 

  • d)-- Pembayaran Hutang Pewaris.


Utang merupakan sesuatu yang harus dibayar oleh orang yang meninggal, apabila si mayit mempunyai hutang atau tanggungan belum dibayar ketika masih hidup di dunianya, baik yang berkaitan dengan sesama manusia maupun kepada Allah yang wajib diambilkan dari harta peninggalannya setelah diambil keperluan tajhiz.[22] Mayoritas ulama berpendapat bahwa kewajiban membayar hutang kepada Allah pun harus dijalankan, apalagi kewajiaban membayar hutang kepada sesama manusia. Sehingga hutang pewaris tetap harus dilunasi walaupun si Pewaris tidak mewasiatkan agar membayar hutangnya.


  • e)-- Pelaksanaan Wasiat.


Wasiat yaitu pesan seseorang untuk memberikan sesuatu kepada orang lain setelah ia meninggal dunia.[23] Jika sebelum meninggal dunia seseorang telah berwasiat, maka dipenuhilah wasiat itu dari harta peninggalannya dengan tidak boleh lebih dari 1/3 harta bila dia mempunyai ahli waris dan jika dia akan berwasiat lebih dari 1/3 harus mendapat persetujuan ahli warisnya.[24]

Jika seseorang berwasiat kepada ahli waris dan orang lain, dan orang lain tersebut mendapatkan setengah wasiat maka batallah wasiat untuk ahli waris. Karena dia berwasiat dengan seseorang yang berhak menerima wasiat dan orang yang tidak menerima wasiat, jadi yang pertama sah dan yang kedua tidak sah. Pembagian wasiat oleh si pewasiat dengan mendahulukan ahli wasiat daripada ahli waris dibolehkan, sedangkan pembagiannya dengan mendahulukan ahli waris dari pada ahli wasiat menjadi batal.[25]

Adanya sistem wasiat ini mengindikasikan bahwa sistem perekonomian Islam berbeda dengan sistem kapitalis dan sosialis.Islam bukan kapitalis karena pemilik harta dibebaskan untukmemindahkan hartanya kepada orang lain melalui wasiat sesuai dengankehendaknyaatas dasar sosial. Namun demikian, Islam juga bukan sosialiskarenasekalipun seseorang dibebaskan untuk memberikan wasiat kepada siapapun namun jumlahnya dibatasi maksima l1/3 dari hartanya. Merealisasikan wasiat yang tidak lebih dari sepertiga harta merupakan kewajiban para ahli waris tanpa harus minta izin kepada siapa pun. Sedangkan kalau wasiatnya melebihi sepertiga harta maka realisasinya tidak dibenarkan kecuali ada izin dari semua ahliwaris.[26]

  • f)-- Hak ahli waris.


Setelah segala urusan diatas diselesaikan, maka barulah menghitung seberapa banyak harta peninggalan bersih dari pewaris. Setelah dihitung harta warisan dibagi kepada para ahli waris menurut pembagian yang telah ditetapkan oleh Allah dalam kitab suci-Nya al-Qur‟an dan kitab al-Hadits.[27]

  • F. Pembagian Harta Waris Islam


Dalam menentukan seberapa besar bagian ahli waris mendapatkan hartanya dari pewaris al-Qur‟an telah menentukan yang tercermin dalam ilmu faraid. Al-Qur‟an dalam menetapkan ketentuan waris untuk ahli waris yang utama dan langsung bersentuhan dengan mayit, yaitu: ayah, ibu, suami/ istri dan saudara.[28]

  • (1) Bagian Waris Anak, Ayah dan Ibu

 

  • (2) Hak Waris Suami/ Istri dan Saudara Seibu

 

  • (3) Hak Waris Saudara Kandung

 


 Hukum Kewarisan Adat

  • A. Pengertian


Hukum waris adat adalah hukum waris adat yang memuat garis garis ketentuan tentang sistem dan azaz-azaz hukum waris, tentang pewaris, harta warisan dan ahli waris serta cara bagaimana harta warisan itu dibagikan kepada ahli waris oleh pewaris. Soepomo menyebutkan bahwa menurut hukum adat kewarisan berarti proses pengoperan dan penerusan mengenai harta kekayaan dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada keturunannya.

 

Menurut Ter Haar Hukum Waris Adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari suatu generasi ke generasi berikutnya.[29]

`

  • B. Asas-asas Kewarisan Adat


Dalam hukum kewarisan adat di Indonesia terdapat terdapat 5 (lima) asas. Asas-asas tersebut merupakan pangkal tolak berfikir dan memikirkan serta penggarisan dalam proses pewarisan, agar penerusan atau pembagian harta warisan itu dapat berjalan dengan rukun dan damai tidak menimbulkan silang sengketa atas harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris yang meninggal dunia. Asas-asas tersebut adalah :[30]


  • 1) Asas Ketuhanan dan Pengendalian Diri


Asas ketuhanan dan pengendalian diri, yaitu adanya kesadaran bagi para ahli waris bahwa rezeki berupa harta kekayaan manusian yang dapat dikuasai dan dimiliki merupakan karunia dan keridhaan Tuhan atas keberadaan harta kekayaan. Adanya harta kekayaan itu karena ridha Tuhan, oleh karena itu setiap manusia wajib bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apabila manusia tidak bersyukur atas karunia-Nya, maka di kehidupan selanjutnya akan mendapatkan kerugian.

 

Kesadaran bahwa Tuhan Maha mengetahui atas segalanya, maka apabila ada pewaris yang wafat para ahli waris tidak akan berselisih dan saling berebut atas harta warisan. Terjadinya perselisihan karena harta warisan akan memberatkan perjalanan si pewaris menuju kehidupan selanjutnya. Oleh karena itu, orangorang yang benar-benar bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa akan selalu menjaga kerukunan daripada pertikaian.

Dengan demikian, asas Ketuhanan Yang Maha Esa didalam hukum waris adat merupakan dasar untuk mengendalikan diri dari masalah pewarisan dan menahan nafsu kebendaan.

  • 2) Asas Kesamaan dan Kebersamaan Hak


Asas kesamaan dan kebersamaan hak, yaitu setiap ahli waris mempunyai kedudukan yang sama sebagai orang yang berhak untuk mewarisi harta peninggalan pewarisnya, sehingga antara hak dan kewajiban tanggung jawab bagi setiap ahli waris untuk memperoleh bagian warisannya.

  • 3) Asas Kerukunan dan Kekeluargaan


Asas kekeluargaan dan kekeluargaan, yaitu para ahli waris mempertahankan untuk memelihara hubungan kekerabatan yang tentram dan damai, baik dalam menikmati dan memanfaatkan harta warisan tidak terbagi maupu harta warisan terbagi.


Asas ini bila dijalankan secara baik, maka sesama ahli akan terjalinhubungan kesamaan antara hak dan tanggung jawab dalam memelihara kerukunan hidup sebagai satu ikatan keluarga. Pada dasarnya tidak ada waris yang berbeda, tidak ada yang harus dihapuskan dari hak mendapat bagian dari warisan yang terbagi, dan tidak ada warisyang dihapuskan dari hak pakai dan hak menikmati warisan yang tidak terbagi.

  • 4) Asas Musyawarah dan Mufakat


Dalam mengatur atau menyelesaikan harta warisan setiap ahli waris memiliki rasa tanggungjawab yang sama atau hak dari kewajiban yang sama berdasarkan musyawarah dan mufakat bersama.

Pada dasarnya dalam mengatur dan menyelesaikan harta warisan tidak boleh terjadi hal-hal yang bersifat memaksakan kehendak antara ahli waris yangsatu dengan ahli waris lainnya tanpa mengesampingkan kepentingan bersama. Untuk itu, sesama ahli waris diharuskan dalam menyelesaikan suatu perkara di pikirkan dahulu baik buruknya suatu keputusan, agar tidak menjadi permusuhan diantara ahli waris.

Musyawarah penyelesaian pembagian harta warisan ini adalah ahli waris yang dituakan, dan apabila terjadi kesepakatan, maka setiap ahli waris wajib untuk menghargai, menghormati, menaati dan melaksanakan hasil keputusan. Suatu keputusan bersama harus didasari sikap jujur dan bermaksud baik sesuai hati nurani, agar tercipta kerukunan diantara ahli waris yang satu dengan ahli waris lainnya. Kesepakatan harus bersifat tulus dengan perkataan dan maksud yang baik yang berasal dari hati nurani yang jujur demi kepentingan bersama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Meskipun telah terjadi kesepakatan bahwa warisan dibagi perseorangan untuk ahli waris, tetapi kedudukan warisan yang telah dimiliki secara perseorangan itu harus tetap memiliki fungsi sosial, masih tetap dapat saling tolong-menolong diantara ahli waris yang satu dengan ahli waris yang lainnya.

  • 5) Asas Keadilan


Asas keadilan yaitu keadilan berdasarkan status, kedudukan dan jasa, sehingga setiap keluarga pewaris mendapatkan harta warisan baik sebagai ahli waris maupun bagian sebagai bukan ahli waris, melainkan bagian jaminan harta sebagai anggota keluarga pewaris.[31] Dengan adanya asas keadilan ini, maka dalam hukum waris adat tidak berarti membagi kepemilikan atau pemakaian harta warisan yang sama jumlahnya atau nilainya, tetapi sesuai dan sebanding dengan kepentingan para ahli waris.


Asas keadilan dalam hukum waris adat berarti bahwa dalam membagi harta warisan selaras dan sebanding dengan kepentingan serta pemerataannya. Hal ini menunjukan bahwa asas keadilan juga mengandung asas keselarasan.

  • C. Pembagian Waris Adat


Dalam pembagian waris adat yang terjadi di masyarakat jawa dapat dikatakan ada dua macam bentuk atau cara. Kedua macam cara tersebut menjadi pembeda dalam hal pembagian warisan antara anak lelaki dan anak perempuan, yaitu:[32]

1) Pembagian dengan Cara dundum kupat atau sigar semangka, artinya bahwa bagian harta ahli waris laki-laki dengan bagian harta perempuan berimbang sama.

2) Pembagian dengan Cara segendong sepikul, artinya bahwa bagian harta ahli waris laki-laki dua kali lipat dari bagian harta ahli waris perempuan.

Pembedaan bagian harta yang didapat ahi waris laki-laki dan bagian harta yang di dapat ahli waris perempuan tampak semakin jelas ketika orang Jawa melakukan pembagian waris dengan cara segendong sepikul atau sapikul sagendhongan dengan ketentuan pria mendapat sapikul dan wanita sagendhongan. Hal ini menggambarkan bahwa sikap orang Jawa yang meninggikan derajat kaum laki-laki dibandingkan kaum perempuan. Kaum laki-laki harus mendapatkan bagian yang lebih dalam segala hal, termasuk warisan. Namun, dalam hal waris jika anak laki-laki mendapat lebih besar dua kali bagiannya anak perempuan juga tidak masalah asalkan pembagian yang seperti ini didasarkan pada prinsip kepatutan. Prinsip menjaga harmoni atau menghindari pertikaian yang diakibatkan oleh pembagian warisan umumnya masih dianut sebagian orang Jawa. Ungkapan mangan ora mangan waton kumpul merupakan sarana ke arah persatuan, karena suatu keluarga diharapkan tetap bersatu dalam keadaan apapun baik suka maupun duka.[33]


  • D. Pembagian Semasa Hidup


Sifat komunal dalam hukum kewarisan adat mengakibatkan tidak dikenalnya bagian-bagian tertentu untuk seluruh ahli waris. Dalam hal diadakan pembagian harta peninggalan di antara para ahli waris terdapat rasa persamaan hak dalam proses penerusan dan pengoperan harta kekayaan orang tua mereka. Asas kerukunan dalam pembagian harta peninggalan selalu diperhatikan diantara ahli waris yang satu dengan ahli waris lainnya. Sehingga, perdamaian di antara mereka menjamin akan perselisihan yang mungkin terjadi.

Pembagian harta dengan jumlah harta seluruhnya maupun sebagian demi sebagian semasa hidup si pewarismerupakan kebalikan dari tetap tak terbaginya harta peninggalan, meskipun kedua-duanya berdasarkan pokok pikiran yang sama (harta kekayaan sebagai harta keluarga/kerabat, diperuntukkan dasar hidup materiil bagi para warganya dalam generasi-generasi berikutnya).

Seperti pengertian yang diberikan oleh Wirjono Prodjodikoero tentang warisan, maka dalam proses peralihannya itu sendiri sesungguhnya sudah dapat dimulai semasa pewaris masih hidup serta proses itu selanjutnya berjalan terus hingga keturunannya itu. Sehingga, menjadi rantai yang tidak terputus karena masing-masing menjadi keluarga-keluarga baru yang berdiri sendiri-sendiri (mentas/mencar) yang kelak pada waktunya mendapat giliran juga untuk meneruskan proses tersebut kepada generasi yang berikutnya (keturunannya) juga.

Terkait pembagian semasa hidup pewaris, M. Hazairin kemudian menyatakan bahwa di waktu anak telah dewasa, meninggalkan rumah orang tuanya, membentuk keluarga mandiri ia seringkali dibekali tanah pertanian, pekarangan dengan rumahnya, dan juga ternaknya. Harta-harta tersebut sejak awal menjadi dasar materiil keluarga baru dan merupakan bagiannya di dalam harta keluarga, yang selanjutnya akan diperhitungkan pada pembagian harta peninggalan sesudah kedua orang tuanya meninggal dunia.

Soepomo dalam menyatakan bahwa proses meneruskan dan mengalihkan barang-barang harta keluarga kepada anak-anak, mungkin dimulai ketika orang tua masih hidup. Untuk memperjelas pendapatnya tersebut, ia kemudian mengambil contoh suatu keluarga di Jawa, keluarga Mana terdiri dari dua anak laki-laki dan dua anak perempuan. Oleh karena anak laki-laki tertua telah dewasa dan cakap bekerja atau “kuat gawe”, maka ayahnya memberikan sebidang sawah atau pekarangan, pemberian mana dilakukan di depan Kepala desa. Anak kedua yang adalah anak perempuan, pada saat dinikahkan atau mulai membina rumah tangga, diberikan sebuah rumah. Menurut Soepomo, pemberian itu bersifat mutlak. Selain itu pemberian ini jugadapat berarti pewarisan atau “toescheiding”.[34] Perbuatan tersebut bukan merupakan jual-beli, akan tetapi merupakan pengalihan harta benda di dalam lingkungan keluarga sendiri.

Pembagian semasa hidup ini disebut juga pembekalan. Jika dihadapkan pada perbuatan-perbuatan pewarisan lainnya, maka yang merupakan ciri khas pada pembekalan itu ialah segera berlakunya penyerahan dan perpindahan milik atas benda-benda yang bersangkutan. Mewariskan harta pada waktu pewaris masih hidup dengan pengalihan harta dengan cara sekaligus dari orang tua kepada ahli waris, dalam bahasa Jawadisebut juga dengan istilah marisake.[35]

Perbuatan pembekalan yang paling sederhana ialah penyerahan tanah kepada anak yang berhak mewarisi seorang tua terikat kepada asas, bahwa semua anak harus mendapat bagian pantas dari harta kekayaannya (bahwa pencabutan hak waris seorang anak terlarang), tetapi ia mempunyai kebebasan mengenai cara pembagian dan mengenai ketentuan tentang jumlah bagian masing-masing.

Dalam pada itu perbuatan pembekalan mempunyai fungsi lain dari pada hanya bergerak di lingkungan ketentuan-ketentuan hukum waris ab intesto; dengan jalan pembekalan itu orang dapat melakukan koreksi atas norma-norma hukum waris ab intesto struktural, tradisional atau religius yang tidak atau tidak lagi memuaskan rasa keadilan.

  • E. Hibah


Secara sederhana hibah menurut hukum adat dijelaskan dengan pembagian harta peninggalan diwaktu pemiliknya masih hidup dan diberikan kepada keluarganya atau keturunannya.[36] Hal ini diungkapkan Teer Haar bahwa hibah dilakukan pada masa oang tua masih hidup. Pembagian hibah biasanya dilakukan dengan memberikan harta kepada anak karena dengan pertimbangan bahwa anak nanti yang akan menerima haknya dikemudian hari. Seperti, misalnya: menghibahkan tanah pertanian untuk dikelola; hewan ternak untuk dipelihara; rumah untuk dihuni; kebun untuk dikelola. Pemberian semacam ini belum dapat diberikan kepada anak yang paling akhir (bungsu) karena biasanya anak bungsu masih tinggal sama orang tuanya.


Ada beberapa kebiasaan hukum adat dimana bagian anak terahir (ragil) terkadang lebih besar dari anak-anak lainnya akan tetapi, bisa jadi bagian yang lebih besar itu karena ia memiliki tanggung jawab yang lebih besar dibanding anak-anak lainnya dalam mengurus orang tuanya.[37]

Video Tata Cara Pembagian Waris Dalam Islam


Footnoote :

  • [01] Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm. 11.
  • [02] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 7.
  • [03] Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Liberal, (Jakarta : Rineka Cipta, 1991), hlm 11-12.
  • [04] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam..., hlm.7.
  • [05] Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah, (Semarang : Toha Putra, 1990), hlm.
  • [06] Ibid., hlm. 116
  • [07] Imam Abi Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Mughirah ibn Bardazabah al Bukhari al Ja‟fiy, Shahih Bukhari, (Semarang: Toha Putra, tt), Hlm. 5.
  • [08] Moh. Muhibbin dan Abdul Wahud, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm.22.
  • [09] Addys Aldizar dan Fatturahman, Hukum Waris …hlm. 27-28.
  • [10] M. Muhibbin dan abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam...,hlm. 62.
  • [11] Ibid.,hlm. 17
  • [12] Abdul Wahid dan Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm.53.
  • [13] Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur‟an dan Hadits, (Jakarta : Tintamas, 1982), hlm 11.
  • [14] Abdul Ghafur Anshori, Hukum Kewarisan Islam, (Yogyakarta : Nuansa Aksara,2005), hlm.17.
  • [15] M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), hlm. 94.
  • [16] M.Hasballah Thaib, Ilmu Hukum Waris Islam, (Medan: USU, 2012),hlm. 19.
  • [17] Moh Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam….hlm.51.
  • [18] Moh Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam...,hlm. 51.
  • [19] Departemen Agama RI, Al-Qur‟an,... 568)
  • [20] Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian, Cet. I. (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015), hlm. 90.
  • [21] Kasuwi Saiban, Hukum Waris,... hlm.12.
  • [22] Ibid., hlm. 52
  • [23] Fatcur Rahman, Ilmu Waris….hlm. 46.
  • [24] Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam…. hlm. 56.
  • [25] Ahmad Junaidi, Wasiat Wajibah pergumulan antara Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 148-149.
  • [26] Kasuwi Saiban, Hukum Waris,... hlm.13.
  • [27] Kasuwi Saiban, Hukum Waris…,hlm. 13.

  • [28] Subchan Bashori, Al-Faraidh Cara Mudah Memahami Hukum Waris Islam, (Jakarta: Nusantara Publissher, 2009), hlm. 55.
  • [29] Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hlm. 7-8
  • [30] Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hlm. 8-10.
  • [31] Ibid, hlm. 9.
  • [32] Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat..., hlm. 106.
  • [33] Atik Triratnawati, “Hukum Agama, Hukum Barat, dan Adat, Kasus-Kasus Pewarisan di Yogyakarta”, dalam Heddy Shri Ahimsa Putra (Ed.) Esei-Esei Antropologi Teori, Metodologi, dan Etnografi, (Yogyakarta: Kepel Press, 2006), hlm. 162.
  • [34] Soepomo, Bab-bab., hlm. 84-85.
  • [35] Ibid.,hlm. 91
  • [36] Teer Haar, Asas- asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1994), hlm. 210.
  • [37] Nico Ngani, Perkembangan Hukum Adat di Indonesia...,hlm. 48


Diupdate hari minggu tgl 24-01-2021
oleh N
otaris Lumajang - Call Center: 081338999229

Tidak ada komentar:

Posting Komentar