Sertifikat Tanah

[Sertifikat Tanah][bsummary]

Notaris

[Notaris Lumajang][bigposts]

Jual Beli

[Jual Beli Tanah][twocolumns]

Alur Jual Beli Tanah secara lengkap di Lumajang oleh Notaris Lumajang

Notaris Lumajang - Call Center 081338999229

Alur AJB di Lumajang
Alur AJB di Lumajang


Berikut Tahapan Praktis saat Anda membuat Akta Jual Beli (AJB) di Daerah Kabupaten Lumajang;

  • 1. Pemohon/ Anda/ Para Pihak Penjual dan Pembeli datang langsung ke Kantor PPAT Notaris Lumajang untuk konsultasi menyeluruh tentang transaksi jual beli tanah dan atau bangunan yang akan dimohonkan untuk diproses pembuatan Akta Jual Beli, atau bisa juga konsultasi online via chat Wa 081338999229 terlebih dahulu.

  • 2. Petugas Kantor PPAT Notaris Lumajang akan meneliti dan memeriksa situasi dan kondisi subjek, objek, serta berkas yang hendak Anda mohonkan untuk diproses AJB.

  • 3. Kemudian Petugas Kantor PPAT Notaris Lumajang akan menjelaskan seluruh tahapan yang akan dilalui beserta estimasi rincian biayanya.

  • 4. Disini akan terdapat perbedaan tahapan tergantung dari berkas awal yang mau dijual beli. Berkas awal disini maksudnya apakah Surat Tanda Bukti Kepemilikan Tanahnya ini berupa Letter C, Kertas Segel, Girik, Petok D, SHGB, atau sudah SHM ? .

      • 1. Untuk berkas yang masih dari tingkatan Desa seperti Letter C, Kertas Segel, Girik, Petok D, maka diperlukan koordinasi dengan Pihak Desa, dalam rangka memastikan keaslian, keamanan, keadilan dari subjek, objek, dan berkas. Dan tidak perlu melibatkan Kantor Pertanahan ATR BPN Lumajang karena bukan SHM (Sertipikat Hak Milik), SHGB (sertipikat Hak Guna Bangunan).

      • 2. Untuk berkas yang sudah tingkatan Nasional seperti SHM, SHGB, maka hanya perlu koordinasi langsung dengan instansi ATR BPN Lumajang saja, tanpa melibatkan instansi Desa/ Kelurahan.

  • 5. Kemudian Petugas Kantor PPAT Notaris Lumajang akan melakukan observasi lapangan / observasi fisik terhadap subjek, objek, dan berkas peralihan hak atas tanah/ permohonan hak atas tanah.

  • 6. Setelah dinyatakan lulus uji observasi fisik, Petugas Kantor PPAT Notaris Lumajang akan berkoordinasi dengan instansi-instansi lainnya seperti Desa (apabila berkas awal masih tingkat Desa/ Kelurahan) yang bertanggung jawab atas riwayat tanah, BPRD yang bertanggung jawab atas BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) dimana merupakan Hak Pemerintah Daerah untuk memungut pajak dalam upaya membangun daerahnya, KP2KP (Kantor Pajak) yang bertanggung jawab atas PPh (Pajak Penghasilan), dan ATR BPN (Kantor Pertanahan) (Apabila berkas awal sudah tingkat Nasional) yang bertanggung jawab atas administrasi dan manajemen seluruh data sertifikat tanah yang ada di Indonesia. Sedangkan Kantor PPAT Notaris sendiri bertanggung jawab atas kelayakan subjek, objek, dan berkas untuk diajukan/ dimohonkan mendapatkan AJB apa tidak.

  • 7. Hasil koordinasi diatas akan menghasilkan/ menerbitkan Berkas Model A dan Letter C Legalisir Desa (apabila berkas awal masih tingkat Desa/ Kelurahan), menghasilkan/ menerbitkan pajak BPHTB (yang dihitung berdasarkan verlap harga tanah oleh Petugas BPRD) dan PPh Final (yang juga dihitung berdasarkan verlap harga tanah oleh Petugas BPRD), validasi SHM / SHGB yang dikeluarkan oleh instansi ATR BPN Lumajang (apabila berkas awal sudah tingkat nasional).

  • 8. Semua proses diatas memakan waktu antara 4 bulan sampai dengan 6 bulan untuk menjadi Akta Jual Beli (AJB). Anda akan dihubungi langsung oleh Petugas Kantor PPAT Notaris Lumajang saat Akta Jual Beli sudah selesai.

Buat Sahabat Notaris Lumajang yang ingin memahami lebih jauh tentang Akta Jual Beli Tanah, bisa disimak ulasan lengkap dibawah ini;

Tanah adalah objek properti yang rawan sengketa. Proses pembelian dan penjualannya pun tidak mudah, karena memerlukan perjanjian hitam di atas putih yang melibatkan banyak pihak. Oleh karena itu, pengetahuan tentang hukum jual beli tanah penting untuk diketahui siapapun yang berniat melakukan transaksi jual beli tanah.

Dasar Hukum Jual Beli Tanah di Indonesia

Setiap negara menerapkan peraturan yang berbeda terkait hukum jual beli tanah. Di Indonesia, aturan jual beli tanah mengacu pada beberapa instrumen hukum, yaitu Kitab Undang-Undah Hukum Perdata (KUH Perdata), Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Jual Beli Tanah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Dalam KUH Perdata, tanah dikategorikan sebagai benda-benda tidak bergerak sesuai dengan Pasal 506 undang-undang tersebut. Oleh karena itu, ketika membeli tanah, yang berpindah bukan objeknya, melainkan hak kepemilikan atas tanah tersebut.

KUH Perdata sendiri telah mengatur ketentuan-ketentuan umum dalam jual beli yang berlaku juga untuk tanah. Menurut KUH Perdata jual beli harus didasarkan pada persetujuan yang mengikat antara satu pihak yang menyerahkan barang dan pihak lain yang membayar harga atas barang tersebut.

Dalam Pasal 1458 dikatakan bahwa 
“Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tertentu beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar.”
Sahnya Jual Beli Tanah
Sahnya Jual Beli Tanah


Transaksi jual beli baru dikatakan sah apabila memenuhi empat syarat yang diatur oleh Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:

  • 1. kesepakatan mereka yang mengikat dirinya,
  • 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan,
  • 3. suatu pokok persoalan tertentu, dan
  • 4. suatu sebab yang tidak terlarang.
Sedangkan transaksi menjadi batal bila terjadi ketidaksetujuan dalam perjanjian, kekhilafan atau adanya paksaan dalam menyetujui (Pasal 1321 KUH Perdata).

Jual Beli Tanah dalam PP No. 37 Tahun 1998

Untuk membuat perjanjian jual beli, tidak dapat dilakukan antara penjual dan pembeli saja. Mereka perlu dibimbing oleh pejabat negara, dalam hal ini PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah). Hal ini diatur dalam PP No. 37 tahun 1998.

Kewenangan PPAT berdasarkan PP No. 37 Tahun 1998 adalah membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu yang berkaitan dengan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

PPAT tidak dapat ditemukan di semua wilayah. Bagi daerah yang belum memiliki PPAT, pembuatan akta jual beli dapat dibantu oleh camat yang berperan sebagai PPAT sementara. Ini sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) undang-undang yang sama.

Jual Beli Tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)

Instrumen hukum lainnya, yakni UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria lebih menyoroti tentang hak kepemilikan atas tanah. Dalam Pasal 16 ayat 1 undang-undang ini, hak-hak atas tanah dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu:

  • - hak milik,
  • - hak guna-usaha,
  • - hak guna-bangunan,
  • - hak pakai,
  • - hak sewa,
  • - hak membuka tanah,
  • - hak memungut hasil hutan,
  • - hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.

Tanah hak milik adalah tanah yang paling sering diperjualbelikan dalam pasar properti. Jika Anda memiliki tanah dengan hak kepemilikan di luar hak-hak di atas, seperti tanah girik atau tanah adat, maka Anda perlu mengkonversinya terlebih dahulu dengan prosedur tertentu.

Yang perlu diperhatikan adalah proses jual beli tanah Hak Milik tidak dapat dilakukan pada warga negara asing, jika merujuk Undang-Undang Pokok Agraria. Dalam Pasal 26 UUPA berbunyi:

“Setiap jual beli, penukaran, penghibahan dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam Pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.”

Hukum Jual Beli Tanah Milik Negara

Tanah Negara
Tanah Negara

Pernahkah Anda menemukan papan bertuliskan “Tanah Ini Milik Negara, Dilarang Masuk/Memanfaatkan”? Hampir di setiap sudut kota Jakarta pasti memiliki tanah yang diperuntukkan bagi negara.

Sebenarnya dalam Undang-Undang Pokok Agraria tidak dijelaskan soal tanah milik negara. Yang ada adalah tanah yang dikuasai negara.

Tidak banyak yang tahu jika tanah yang dikuasai negara pengelolaannya dapat dialihkan pada pihak lain. Hal ini sesuai dengan Permen Agraria Nomor 9 Tahun 1999.

Cara Mengajukan Permohonan Hak Milik atas Tanah Negara

Dalam Pasal 8 ayat (1), dijelaskan bahwa pihak yang akan memperoleh Hak Milik atas tanah negara haruslah Warga Negara Indonesia atau badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan terkait berkas yang perlu dilengkapi ketika mengajukan permohonan ada pada Pasal 10 Permen Agraria ini, yaitu:

  • 1. fotokopi surat bukti identitas;
  • 2. surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia;
  • 3. fotokopi akta atau peraturan pendiriannya dan salinan surat keputusan penunjukkannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (jika badan hukum yang mengajukan);
  • 4. data yuridis, seperti sertifikat girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah yang telah dibeli dari Pemerintah, PPAT, akta pelepasan hak, putusan pengadilan, dan surat-surat bukti perolehan tanah lainnya;
  • 5. surat ukur;
  • 6. gambar situasi;
  • 7. IMB (jika ada);
  • 8. surat pernyataan pemohon mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah yang telah dimiliki oleh pemohon termasuk bidang tanah yang dimohon;
  • 9. surat-surat lainnya jika diperlukan.

Selanjutnya, permohonan hak atas tanah tersebut diajukan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan. Begitu mendapatkan hak atas tanah negara, ada kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi pemilik baru, yaitu:

  • - Membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah (BPHTB) dan uang pemasukan untuk negara sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
  • - Menjaga tanda-tanda batas.
  • - Memanfaatkan tanah dengan maksimal.
  • - Mencegah kerusakan dan hilangnya kesuburan tanah.
  • - Menggunakan tanah sesuai dengan kondisi lingkungan hidup.
  • - Kewajiban lain yang tercantum di dalam sertifikat.

Jual Beli Tanah Menurut Islam

Jual Beli dalam Islam
Jual Beli dalam Islam

Hukum jual beli dalam Islam adalah halal atau boleh dilakukan. Namun, tetap ada rukun yang harus dipenuhi agar transaksi menjadi sah. Adapun rukun jual beli tanah dalam Islam terdiri dari pelaku, objek dan ijab qabul. 

Pelaku Jual Beli

Dalam Islam, transaksi jual beli tanah baru bisa dikatakan sah apabila pelaku jual beli sudah aqil baligh. Mereka harus paling tidak berusia 21 tahun ke atas untuk dapat membuat perjanjian. Jika dalam perjanjian jual beli terdapat resiko hukum tertentu, maka kedua belah pihak juga harus masuk dalam kategori umum yang siap melakukan transaksi legal.

Objek Jual Beli

Objek jual beli adalah hal yang dipertukarkan, yang menjadi alasan terjadinya jual beli. Dalam konteks jual beli tanah, yang ditukar adalah uang dengan sebidang tanah. Uang yang dijadikan alat tukar harus sah dan tanah yang akan ditukarkan juga harus tanah yang sah milik penjual, bebas sengketa dan bukan tanah wakaf.

Ijab Qabul

Sah atau tidaknya transaksi jual beli tanah dalam Islam ditentukan oleh ijab qabul. Proses ini ditandai dengan serah terima (qabdh) yang sah. Serah terima dalam Islam dibagi dua, yakni secara formal (tertulis, sesuai dengan kriteria legal) dan secara hakiki atau serah terima yang menyebabkan objek akad benar-benar dimiliki dan dimanfaatkan oleh pembeli, tanpa adanya penghalang.

Sengketa Tanah dan Langkah Penyelesaiannya

Dalam prakteknya, jual beli tanah tidak selalu berjalan mulus. Sengketa tanah adalah masalah yang paling umum ditemui. Mengutip dari Permen No. 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan, disebutkan bahwa sengketa tanah adalah perselisihan pertanahan antara orang perorangan, badan hukum atau lembaga yang tidak berdampak luas.

Sengketa tanah merupakan kasus perdata yang dapat diselesaikan dengan atau tanpa pengadilan. Jika Anda terkena dampak sengketa dan ingin menyelesaikannya, Anda dapat membuat pengaduan Kepala Kantor Pertanahan.

Membuat Pengaduan Penyelesaian Sengketa Tanah

Penyelesaian Sengketa Tanah
Penyelesaian Sengketa Tanah

Pengaduan yang diajukan ke Kantor Pertanahan harus memuat identitas pengadu dan uraian singkat kasus. Hal itu sesuai dengan Pasal 6 ayat (5) Permen No. 11 tahun 2016, yang berbunyi:

“Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri dengan fotokopi identitas pengadu, fotokopi identitas penerima kuasa dan surat kuasa apabila dikuasakan, serta data pendukung atau bukti-bukti yang terkait dengan pengaduan.”

Langkah selanjutnya adalah menyerahkan berkas-berkas yang diperlukan ke Kantor Pertanahan melalui loket pengaduan, kotak surat maupun situs kementerian. Nantinya, kantor wilayah BPN atau Badan Pertanahan Nasional akan meneruskan berkas ke Kepala Kantor Pertanahan.

Bila sudah memenuhi syarat, berkas aduan akan diterima dan diproses lebih lanjut. Akan tetapi jika tidak memenuhi syarat, berkas akan dikembalikan beserta informasi terkait berkas-berkas yang belum lengkap.

Cara Memenangkan Sengketa Tanah

Jika kasus sengketa muncul setelah Anda menempati tanah yang diperjualbelikan, Anda dapat mempertahankan posisi dengan membuktikan hak atas tanah yang Anda beli kepada penggugat. Perlu diingat bahwa cara ini baru berhasil jika Anda berada di posisi yang tidak bersalah.

Melansir dari laman hukumonline.com, pembuktian semacam ini sudah diatur dalam Pasal 163 HIR (Het Herzien Indlandsch Reglement) yang berbunyi:

“Barangsiapa yang mengatakan mempunyai barang sesuatu hak, atau menyebutkan sesuatu kejadian untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.”

Adapun alat pembuktian kepemilikan tanah juga diatur dalam pasal sesudahnya, yang terdiri dari:

  • - Bukti tulis/surat
  • - Bukti saksi
  • - Persangkaan
  • - Pengakuan
  • - Sumpah.

Selain alat pembuktian di atas, Akta Tanah atau Akta Jual Beli (AJB) juga bisa menjadi bukti yang menguatkan dalam pengadilan. Jika ingin memperkuat bukti, Anda bisa menghadirkan saksi saat transaksi jual beli tanah.


Implikasi Yuridis Jual Beli Tanah Yang Tidak Dilakukan Di Hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Terhadap Proses Pendaftaran Dan Peralihan Hak Atas Tanah

Resiko Akta Jual Beli Tanpa PPAT
Resiko Akta Jual Beli Tanpa PPAT

Jual beli tanah memiliki ciri dan corak khusus sehingga berbeda dengan jual beli yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 

Sebelum berlakunya UUPA terjadi dualisme hukum agraria sehingga terdapat dua pengaturan mengenai jual beli tanah, yaitu jual beli tanah hukum barat dan jual beli tanah hukum adat. 

Namun sejak tanggal 24 September 1960, pemerintah mengeluarkan produk hukum baru yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang kemudian dikenal dengan (UUPA). 

Setelah berlakunya UUPA maka terjadi unifikasi hukum agraria yang juga berarti hukum tanah, sehingga pengaturan jual beli tanah juga menggunakan UUPA. Dalam UUPA istilah jual beli hanya disebutkan dalam Pasal 26 yaitu yang menyangkut jual beli hak milik atas tanah, tidak ada pasal lain yang menyebutkan jual beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukan suatu perbuatan hukum yang disengaja untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain melalui jual beli, hibah, tukar menukar, dan hibah wasiat. Namun karena pada Pasal 5 UUPA disebutkan bahwa hukum tanah Nasional kita adalah hukum adat maka jual beli tanah UUPA adalah sesuai dengan hukum Adat.

Menurut hukum Adat jual beli tanah adalah suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai, terang berarti perbuatan pemindahan hak tersebut harus dilakukan dihadapan kepala adat, yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan pemindahan hak tersebut diketahui oleh umum. Tunai maksudnya, bahwa perbuatan pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak. Oleh karena dibayar kontan, atau baru dibayar sebagian (tunai dianggap tunai), dan kekurangan pembayaran dianggap sebagai hukum utang piutang. [Sorjono Soekanto(Ed), Hukum Adat Indoneisa, Jakarta, Rajawali, 1983, hlm 211]

Sedangkan sifat jual beli tanah Adat menurut effendi perangin, adalah:[Effendi Perangin(Ed), Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktis Hukum, Jakarta, Rajawali, 1989, hlm 16]

  • 1) Contant atau tunai

Contant atau tunai, artinya harga tanah yang dibayar itu bias seluruhnya, tetapi bias juga sebagian. Tetapi biarpun dibayar sebagian, menurut hukum dianggap telah dibayar penuh. Pembayaran harga dan penyerahan haknya dilakukan pada saat bersamaan. Pada saat itu, jual beli menurut hukum telah selsai. Sisa harga yang belum dibayar dianggap sebgai hutang piutang kepada bekas pemilik tanah (penjual).

  • 2) Terang

Terang artinya jual beli tanah tersebut dlakukan dihadapan kepala desa (kepala adat) yang tidak hanya bertindak sebagai saksi tetapi dalam kedudukanya sebagai pihak yang menanggung bahwa jual beli tersebut tidak melanggar hukum yang berlaku.

Jual beli tanah menurut hukum Adat terdapat suatu perbuatan hukum, yaitu perpindahan dari penjual kepada pembeli pada saat dibayarnya harga tanah secara tunai (contant) oleh pembeli kepada penjual. Jual beli tanah menurut hukum Adat bukan merupakan suatu perjanjian keperdataan seperti yang dikemukakan Urip Santoso:[Urip santoso, Pendaftaran Dan Peralihan Hak Atas Tanah, Jakarta, Kencana Pernada Media Group, 2010, hlm 362]

“Jual beli menurut hukum adat bukanlah merupakan perjanjian jual beli sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1457 BW, melainkan suatu perbuatan hukum yang dimaksudkan untuk memindahakan hak atas tanah dari pemegang hak (penjual) kepada pihak lain (pembeli) dengan pembayaran sejumlah uang secara tunai (contant) dan dilakukan di hadapan kepala desa /kepala adat setempat (bersifat terang)”

Pada Tahun 1961 pemerintah mengeluarkan produk hukum baru sebagai peraturan pelaksana atas UUPA yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang sekarang dirubah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan ini
selain mengatur mengenai pendaftaran tanah ternyata juga mengatur mengenai peralihan tanah, seperti terlihat pada Pasal 37 Peraturan Pemerintah ini dinyatakan bahwa:

“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah,pemasukan dalam peusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Pasal 37 tersebut dapat diinterprestasikan bahwa peralihan hak atas tanah melalui jual beli harus dilakan dihadapan PPAT yang kemudian dibuktiktikan dengan Akta Jual beli yang dibuat oleh PPAT, Akta jual beli yang dibuat Oleh PPAT tersebut digunakan sebagai bukti bahwa telah dilakukan perbuatan hukum berupa perbuatan jual beli atas sebidang tanah antara pihak penjual kepada pihak pembeli dan kemudian akta tersebut digunakan sebagai syarat untuk melakukan pendaftaran dan perpindahan hak atas tanah.

Dengan dilakukanya jual beli di hadapan PPAT, dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum gelap, yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi). Akta jual beli ditandatangani oleh para pihak membuktikan telah terjadi pemindahan hak dari penjual kepada pembelinya dengan disertai harganya, telah memenuhi syarat tunai dan menunjukan secara nyata atau riil perbuatan hukum yang bersangkutan
telah dilaksanakan. Akta tersebut membuktikan bahwa benar telah dilakukan perbuatan pemindahan hukum selama lamanya dan pembayaran harganya. Karena perbuatan hukum yang dilakukan merupakan perbuatan hukum pemidahan hak, maka akta tersebut menunjukan bahwa pembeli sebagai penerima hak yang baru.[Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi Dan Pelaksanaaanya, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm 296]

Atas dasar perbuatan hukum jual beli tanah yang di buktikan dengan akta PPAT serta dilakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah di kantor pertanahan maka dan diterbitkannya alat bukti kepemilikan yang kuat berupa sertipikat hak atas tanah atas nama penerima hak, berisi kutipan buku tanah dan surat ukur maka telah peralihan hak tersebut dapat dikatakan telah terjadi dengan sempurna.

Jual beli tanah yang tidak dilakukan di hadapan PPAT bukanlah jual beli yang mengakibatkan pemindahan hak atas tanah kepada pembeli.Tegasnya perbuatan tersebut tidak melahirkan jual beli, Paling jauh baru menimbulkan Perjanjian jual beli yang masih harus di ikuti dengan jual beli yang sebenarnya yaitu perjanjian jual beli yang harus dilakukan dimuka PPAT, jika memang dikehendaki bahwa haknya akan beralih kepada pihak yang telah membayar harga tanahnya.[Efendi Parangin Op.cit, hlm 28] 

Karena setiap peralihan hak atas tanah harus dilakukan dan dicatatkan dihadapan PPAT guna memperoleh Akta jual beli tanah sebagai bukti untuk mengalihkan dan mendaftarkan peralihan hak atas tanah di kantor Pertanahan dimana tanah itu terdapat sesuai dengan isi dari pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Jual beli tanah yang tidak disertai dengan akta jual beli yang dibuat oleh PPAT tidak dapat dialihkan dan didaftarkan haknya di kantor pertanahan. Hal ini diungkapkan oleh Sutikno, S.H. Kepala Sub Seksi Peralihan dan Pembebanan Hak dan PPAT Kantor Pertanahan Kabupaten Lamongan.[Hasil wawancara dari Sutikno, S.H. Kepala Sub Seksi Peralihan dan Pembebanan Hak dan PPAT Kantor Pertanahan Kabupaten Lamongan di kantor pertanahan Kabupaten Lamongan pada hari Senin Tanggal 26 Mei 2014 jam 08.00 WIB] 

Beliau menjelaskan bahwa setiap peralihan hak atas tanah melalui jual beli yang akan didaftarkan di kantor pertanahan harus dibuktikan dengan akta jual beli yang dibuat oleh PPAT, ketika pemilik atau pihak yang mengalihkan dan mendaftarkan tanah tersebut tidak dapat membuktikan jual beli tanah yang akan didaftarkan itu dengan akta yang dibuat oleh PPAT maka Kantor pertanahan akan menolak Peralihan dan Pendaftaran tanah itu. 

Bukti akta jual beli tanah yang dibuat oleh PPAT sebagai syarat pendaftaran tanah ini berlaku bagi pendaftaran peralihan hak atas tanah yang telah didaftarkan di kantor pertanahan maupun untuk pendaftaran tanah pertama kali, untuk pendaftaran tanah pertama kali harus dibuktikan dengan akta jual beli yang dibuat dihadapan PPAT apabila jual beli tanah itu dilakukan setelah tahun 1993 dan dalam surat C desa masih atas nama pemilik yang lama, hal ini dikarenakan bahwa setelah tahun 1993 surat tanah C desa atau biasa disebut sebagai letter C ini sudah tidak diterbitkan lagi oleh pemerintah melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak NOMOR SE - 15/PJ.6/1993. Leter C sendiri bukanlah merupakan bukti tanda kepemilikan tanah akan tetapi merupakan tanda pembayaran pajak. Sedangkan bagi jual beli yang dilakukan sebelum tahun 1993 dan surat C desa sudah atas nama pembeli maka proses pendaftaran tanah dapat dilakukan tanpa PPAT. 


Video materi mana yang mesti diprioritaskan antara Pelunasan Transaksi Jual Beli dengan Pembuatan Akta Jual Beli itu sendiri ?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar