Sertifikat Tanah

[Sertifikat Tanah][bsummary]

Notaris

[Notaris Lumajang][bigposts]

Jual Beli

[Jual Beli Tanah][twocolumns]

Perbedaan PPAT dan Notaris secara lengkap di Lumajang

 notaris lumajang - Call Center: 081338999229

Perbedaan PPAT NOTARIS
Perbedaan PPAT & NOTARIS









Udah hal umum Notaris & PPAT itu adalah satu jabatan/ satu profesi. Padahal Notaris & PPAT itu sebenernya adalah 2 jabatan/ profesi yg berbeda. Penyebabnya seringkali kita temui papan nama/ plang nama Notaris & PPAT itu ada dalam satu kantor, sehingga kita umumnya menganggap bahwa PPAT & Notaris itu sama aja tugas wewenangnya.
 
OK ... langsung za deksini akan kami bahas perbedaan secara mendetail diantara kedua profesi ini, baik secara Undang-Undang yg mengatur, tugas wewenangnya, wilayah kerja, syarat kualifikasinya, dll... Bila masih kurang jelas bisa fast respon chat wa za ke 081338999229 - Notaris Lumajang ;  

Perbedaan Definisi Notaris dan PPAT

 

Sebelum membahas lebih jauh mengenai kedua profesi ini, hal pertama yang harus Anda pahami adalah apa itu notaris dan PPAT? Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UU Jabatan Notaris), notaris merupakan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya yang dimaksud dalam UU Jabatan Notaris atau berdasarkan undang-undang lainnya. 

 

Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PP 24/2016), PPAT merupakan pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu seperti hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. 

 

Berdasarkan definisi tersebut, jelas terdapat perbedaan bahwa meskipun keduanya berwenang untuk membuat akta otentik, namun jenis akta otentik yang dibuat berbeda di mana PPAT berwenang membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum yang berkaitan dengan tanah. Sedangkan notaris berwenang membuat akta otentik atas perbuatan hukum secara umum, selain yang berkaitan dengan tanah. Menurut Karlita Rubianti,S.H., seorang notaris boleh menjalankan profesinya setelah diangkat oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, sedangkan PPAT diangkat langsung oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).


Baca juga : Cara Mudah Membuat Akta Jual Beli di Notaris Lumajang


Perbedaan Dasar Hukum Notaris dan PPAT

 

Hal pertama yang membedakan profesi notaris dan PPAT ada pada dasar hukum yang mengatur kedua profesi ini. Profesi notaris diatur dalam UU Jabatan Notaris. Dasar hukum profesi notaris diatur dalam Undang Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang jabatan notaris. Dasar pengangkatan sebagai Notaris melalui Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tertanggal 23 Nopember 1998 nomor C-537.HT.03.01-Th.1998 tentang Pengangkatan Notaris. Pengangkatan dan pemberhentian jabatan notaris dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM dan sebelum memegang jabatan dan harus disumpah di hadapan menteri atau pejabat yang ditunjuk selambat-lambatnya 2 bulan setelah pengangkatan.

 

Sedangkan ketentuan lebih rinci mengenai syarat bagi orang yang akan diangkat sebagai notaris diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 62 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 25 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Perpindahan, Pemberhentian dan Perpanjangan Masa Jabatan Notaris. Untuk menjadi seorang notaris, seseorang harus memiliki gelar sarjana hukum dan strata dua kenotariatan. 

 

Berbeda dengan notaris, dasar hukum pengangkatan PPAT sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah Surat Keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional tertanggal 2 Juni 1998 nomor 8-XI-1998 tentang Pengangkatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dan Penunjukan Daerah Kerjanya. PPAT diangkat oleh Kepala Badan Pertanahan. Dasar hukum PPAT diantaranya UU No. 5 tahun 1960, PP No. 24 tahun 1997, PP No. 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT (PJPPAT) dan PerKBPN No. 1 tahun 2006, serta PP No.24 tahun 2016 yang mengatur tentang syarat pengangkatan, larangan bagi PPAT, dan lingkup kewenangan PPAT dalam menjalankan profesinya. Untuk dapat diangkat menjadi PPAT, seseorang juga diwajibkan memiliki gelar sarjana hukum dan strata dua kenotariatan atau telah lulus program pendidikan khusus PPAT yang diselenggarakan oleh Kementerian Agraria.


Baca juga :  Cara Mengurus Sertifikat Tanah secara MUDAH di Lumajang 

Dasar Hukum Notaris PPAT


Perbedaan Kode Etik Notaris dan PPAT

 

Perbedaan kedua yang membedakan profesi notaris dan PPAT terdapat pada kode etiknya. Selain harus tunduk pada peraturan perundang-undangan, baik notaris maupun PPAT juga harus mematuhi kode etik masing-masing. Seorang notaris yang diangkat harus mengucapkan sumpah notaris yang berisi bahwa notaris harus menjaga sikap, tingkah laku, dan akan menjalankan kewajiban sesuai kode etik profesi, kehormatan, martabat, dan tanggung jawab sebagai notaris.


Perbedaan notaris dan PPAT dari kode etiknya: Setelah pengangkatan, berdasarkan Pasal 4 ayat 2 UUJN notaris yang diangkat harus mengucapkan sumpah notaris yang isinya harus menjaga sikap, tingkah laku dan akan menjalankan kewajiban sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat, dan tanggung jawab sebagai notaris. Amanah yaitu merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan. Dalam jabatan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan nama atau dalih apa pun, tidak pernah dan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapa pun. 

 

Menurut Pasal 83 Ayat 1, Kode Etik Notaris ditetapkan oleh Organisasi Notaris. Organisasi yang dimaksud tercantum dalam Pasal 1 Angka 13 Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia No.M-01.H.T.03.01 Tahun 2003 tentang Kenotarisan, yaitu Ikatan Notaris Indonesia (INI). Kode Etik Notaris yang berlaku berdasarkan Keputusan Kongres Luar Biasa INI tanggal 27 Januari 2005 di Bandung. Pasal 1 angka 2 Kode Etik Notaris menyebutkan 

“Kode Etik Notaris dan untuk selanjutnya akan disebut Kode Etik adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia yang selanjutnya akan disebut “Perkumpulan” berdasar keputusan Kongres Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota Perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, termasuk di dalamnya para Pejabat Sementara Notaris, Notaris pengganti, dan Notaris Pengganti Khusus.”

Sedangkan, Kode Etik PPAT ada dalam peraturan lebih lanjut yaitu Pasal 28 ayat (2) huruf c Perka BPN No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Yang berwenang mengangkat dan memberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya jika melanggar kode etik profesi adalah Kepala Badan Pertanahan Nasional. Kode etik profesi PPAT disusun oleh Organisasi PPAT dan/atau PPAT Sementara dan ditetapkan oleh Kepala BPN yang berlaku secara nasional (Pasal 69 Perka BPN 1/2006). Organisasi PPAT yang dimaksud saat ini adalah Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT). Kode Etik Profesi PPAT yang berlaku saat ini yaitu hasil keputusan Kongres IV IPPAT 31 Agustus – 1 September 2007. Pasal 1 angka 2 Kode Etik Profesi PPAT menyebutkan 

“Kode Etik PPAT dan untuk selanjutnya akan disebut Kode Etik adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan berdasarkan keputusan kongres dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota Perkumpulan IPPAT dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai PPAT, termasuk di dalamnya para PPAT Pengganti.” 

Yang berwenang melakukan pengawasan dan penindakan kode etik PPAT ada pada Majelis Kehormatan yang terdiri dari Majelis Kehormatan Daerah dan Majelis Kehormatan Pusat.


Perbedaan Tugas dan Wewenang Notaris dan PPAT


Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UU Jabatan Notaris, seorang notaris memiliki wewenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu dapat dilakukan sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Selain kewenangan secara umum yang telah disebutkan di atas, berikut ini adalah beberapa wewenang lain dari profesi seorang notaris:


  • 1. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
  • 2. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
  • 3. membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
  • 4. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
  • 5. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
  • 6. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
  • 7. membuat akta risalah lelang.


Sedangkan tugas dan kewenangan PPAT tercantum dalam pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.


Perbuatan hukum yang dimaksud adalah:

  • a. Jual beli;
  • b. Tukar menukar;
  • c. Hibah;
  • d. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
  • e. Pembagian hak bersama;
  • f. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
  • g. Pemberian Hak Tanggungan;
  • h. Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan


Jenis Akta PPAT

Wilayah Kerja Notaris Vs PPAT


Seorang notaris memiliki wewenang dalam pembuatan akta selama perbuatan hukum yang dilakukannya ada di dalam wilayah kerjanya. Menurut Pasal 18 ayat (2) UU Jabatan Notaris, wilayah kerja notaris mencakup seluruh wilayah dalam satu provinsi dari tempat kedudukannya. Misalnya, Anda memiliki PT yang berdomisili di Tangerang dan Anda berniat untuk melakukan rapat umum pemegang saham di Jakarta Selatan. Maka, Anda bisa menggunakan Notaris yang berkedudukan di Jakarta Utara karena rapat umum pemegang saham tersebut masih dilakukan dalam satu provinsi yang sama dengan tempat kedudukan Notaris.

Selaras dengan wilayah jabatan notaris, berdasarkan Pasal 12 ayat (1) PP 24/2016, PPAT juga memiliki wilayah kerja dalam satu provinsi. Artinya, PPAT yang berkedudukan di Bekasi dapat mengurus pertanahan di Bandung karena masih dalam satu provinsi yang sama.


Akta Otentik yang Menjadi Kewenangan Notaris Vs PPAT?


Pasal 1868 KUHPerdata menyatakan bahwa akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa akta otentik bisa dibilang istimewa dan menjadi bukti yang sempurna untuk segala hal yang termuat didalamnya.


Akta otentik ini akan sangat berguna ketika di kemudian hari Anda mengalami masalah atau sengketa setelah proses jual-beli properti yang sah, di mana segala kesepakatan dan perjanjian telah dituangkan dalam akta yang dibuat oleh notaris atau PPAT, sehingga Anda bisa mengajukan akta ini sebagai alat bukti di pengadilan. Maka dari itu, Anda perlu mengetahui kewenangan masing-masing pejabat umum yang dapat membuat akta otentik yang Anda butuhkan. Jika Anda membutuhkan akta berkaitan dengan tanah, misalnya jual beli tanah atau menjaminkan tanah dengan hak tanggungan, maka PPAT merupakan pejabat yang berwenang untuk membuat akta tersebut. Sedangkan untuk akta lainnya yang tidak berkaitan dengan tanah antara lain seperti pendirian perusahaan, jual beli saham, perjanjian kawin, maka Notaris merupakan pejabat yang berwenang untuk membuat akta tersebut.


Perbandingan Pengawasan Terhadap Notaris dengan Pengawasan Terhadap Pajabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Berdasarkan peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota Susunan Organisasi, Tata Cara Kerja dan Tata Cata Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris Pasal 1 angka 5 menjelaskan mengenai pengertian dari pengawasan yang berbunyi sebagai berikut :

“Pengawasan adalah kegiatan yang bersifat prefentif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap Notaris.”

Wewenang pengawasan atas notaris ada di tangan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Tetapi dalam praktek, Menteri melimpahkan wewenang itu kepada Majelis Pengawas Notaris (MPN) yang dia bentuk. Ketentuan Pasal 67 UUJN menegasan bahwa Menteri melakukan pengawasan terhadap notaris dan kewenangan Menteri untuk melakukan pengawasan ini oleh UUJN diberikan dalam bentuk pendelegasian delegatif kepada Menteri untuk membentuk MPN, bukan untuk menjalankan fungsi-fungsi MPN yang telah ditetapkan secara eksplisit menjadi kewenangan MPN.


Pengawas tersebut termasuk pembinaan yang dilakukan oleh Menteri terhadap notaris seperti menurut penjelasan Pasal 67 ayat (1) UUJN. Ketentuan Pasal 1 angka (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, menegaskan yang dimaksud dengan pengawasan adalah kegiatan prefentif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap notaris, dengan demikian ada 3 (tiga) tugas yang dilakukan oleh MPN, yaitu:

 

a. Pengawasan Preventif;
b. Pengawasan Kuratif;
c. Pembinaan.


Tujuan dari pengawasan yang dilakukan terhadap notaris adalah supaya notaris sebanyak mungkin memenuhi persyaratan-persyaratan yang dituntut kepadanya. Persyaratan-persyaratan yang dituntut itu tidak hanya oleh hukum atau undang-undang saja, akan tetapi juga berdasarkan kepercayaan yang diberikan oleh klien terhadap notaris tersebut. Tujuan dari pengawasan itupun tidak hanya ditujukan bagi penataan kode etik notaris akan tetapi juga untuk tujuan yang lebih luas, yaitu agar para notaris dalam menjalankan tugas jabatannya memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh undangundang demi pengamanan atas kepentingan masyarakat yang dilayani.
 

Dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya sebagai Pejabat Umum, tidak jarang Notaris/PPAT berurusan dengan proses hukum. Pada proses hukum ini Notaris/PPAT harus memberikan keterangan dan kesaksian menyangkut isi akta yang dibuatnya. Dengan diletakkannya tanggung jawab secara hukum dan etika kepada Notaris/PPAT, maka kesalahan yang sering terjadi pada Notaris/PPAT banyak disebabkan oleh keteledoran Notaris/PPAT tersebut, karenanya sangat diperlukan adanya pengawasan.

Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah dua profesi hukum yang mempunyai nama berbeda, aturan hukum yang berbeda, bentuk akta yang berbeda dan dalam hal tertentu dua profesi hukum ini dijabat oleh orang yang sama yaitu lulusan Program Spesialis Notariat (Sp.N atau CN) atau Program Magister Kenotariatan (MKn) sebagaimana diatur dalam Pasal 3 jo Pasal 17 huruf g dan Pasal 90 UU Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan telah menegaskan bahwa untuk dapat diangkat sebagai notaris salah satu syaratnya adalah berijazah Sarjana Hukum, lulusan jenjang Strata 2 kenotariatan (MKn) atau lulusan program Spesialis Notarist (Sp.N).

Keberadaan Notaris dan PPAT identik dengan Akta Otentik, yang bersumber dari Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal ini hanya merumuskan penaertian atau definisi akta otentik dan menghendaki adanya Pejabat Umum dan bentuk Akta Otentik yang diatur dalam bentuk Undang-Undang, sedangkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengatur siapa yang disebut Pejabat Umum dan bagaimana bentuk Akta Otentik dan untuk mengetahui tentang Pejabat Umum dan bentuk Akta Otentik harus berpijak pada UU organik yang mengatur tentang Pejabat Umum, dimana satu-satunya adalah Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang menggantikan Peraturan Jabatan Notaris (Stbl.1860:3).


Berdasarkan uraian di atas, pengawasan terhadap notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya dilakukan oleh dua lembaga, yaitu Majelis Pengawas (Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat) dan Dewan Kehormatan (Dewan Kehormatan Daerah, Dewan Kehormatan Wilayah dan Dewan Kehormatan Pusat). Majelis Pengawas Notaris dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 67 sampai dengan Pasal 81Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan Keputusan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris sebagai peraturan pelaksanaannya. Ketentuan-ketentuan ini merupakan salah satu upaya untuk mengantisipasi kelemahan dan kekurangan dalam sistem pengawasan terhadap Notaris, sehingga diharapkan dalam menjalankan profesi jabatannya, Notaris dapat lebih meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.

Selanjutnya untuk Dewan Kehormatan merupakan implementasi pengawas terhadap Notaris oleh organisasi notaris, yaitu Ikatan Notaris Indonesia. Dewan Kehormatan merupakan alat perlengkapan perkumpulan yang terdiri dari beberapa orang anggota yang dipilih dari anggota biasa dan werda Notaris, yang berdedikasi tinggi dan loyal terhadap perkumpulan, berkepribadian baik, arif dan bijaksana, sehingga dapat menjadi panutan bagi anggota dan diangkat oleh kongres untuk masa jabatan yang sama dengan masa jabatan kepengurusan.

Dewan Kehormatan berwenang melakukan pemeriksaan atas pelanggaran terhadap Kode Etik dan menjatuhkan sanksi kepada pelanggarannya sesuai dengan kewenangannya dan bertugas untuk:

a. melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota dalam menjunjung tinggi Kode Etik;

b. memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan Kode Etik yang bersifat internal atau yang tidak mempunyai masyarakat secara langsung;

c. memberikan saran dan pendapat kepada majelis pengawas atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan Jabatan Notaris.

Pengawasanan atas pelaksaanaan Kode Etik dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Pada tingkat pertama oleh Pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Daerah;

b. Pada tingkat banding oleh Pengurus Wilayah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Wilayah;

c. Pada tingkat terakhir oleh Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Pusat.

Berkaitan dengan eksistensi Pejabat Pembuat Akta Tanah selaku Pejabat Umum, hal tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT dan pelaksanaannya dituangkan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 tahun tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 1998.

PPAT yang dalam melaksanakan tugasnya wajib mengikuti aturan, ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40 (PP No. 24 tahun 1997), serta ketentuan dan petunjuk yang diberikan oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk dikenakan tindakan administratif berupa teguran tertulis sampai pemberhentian dari jabatannya sebagai PPAT, dengan tidak mengurangi kemungkinan dituntut ganti kerugian oleh pihakpihak yang menderita kerugian yang diakibatkan oleh diabaikannya ketentuan-ketentuan tersebut.

Selanjutnya, dalam peraturan jabatan PPAT ( Pasal 10 PP No. 37 tahun 1998 yo. PerKBPN No. 1 tahun 2006) menjelaskan ada dua klasifikasi pemberhentian dari jabatan PPAT, diberhentikan dengan hormat dan diberhentikan dengan tidak dengan hormat. PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena: 

  • a. permintaan sendiri; 
  • b. tidak lagi mampu menjalankan tugasnya karena keadaan kesehatan badan atau kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa kesehatan yang berwenang atas permintaan menteri atau pejabat yang ditunjuk; 
  • c. melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT; 

  • d. diangkat sebagai pegawai negeri sipil atau ABRI; 

 

Sedangkan PPAT diberhentikan dengan dengan tidak hormat dari jabatannya, karena: 

  • a. melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT; 
  • b. dijatuhi hukuman kurungan / penjara karena melakukan kejahatan perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya 5 (lima ) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap.


Pihak-Pihak yang berwenang melakukan pengawasan terhadap PPAT dalam melaksanakan jabatannyaadalah Badan Pertanahan Nasional dan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT). Adapun peranan BadanPertanahan Nasional dalam hal ini adalah memberikan pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT agar dalam melaksanakan jabatannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.53 Sedangkan peranan IPPAT dalam hal ini adalah memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap PPAT agar dalam melaksanakan jabatannya sesuai dengan Kode Etik PPAT.

Berdasarkan hasil penelitian pada kenyataannya untuk pengawasan terhadap notaris tidak menjadi masalah, hal ini dikarenakan sudah ada lembaga yang bertugas untuk melakukan pengawasan, yaitu Majelis Pengawas (MPD, MPW dan MPP). Namun demikian, untuk pengawasan terhadap PPAT, masih terjadi masalah dalam arti tidak terdapat lembaga khusus yang bertugas mengawasi PPAT dalam menjalankan tugas dan jabatannya, sehingga dalam kenyatannya apabila terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT masih terjadi “salah laporan” karena pihak yang merasa dirugikan melaporkannya kepada MPD atau Pengurus IPPAT. Hal ini tentunya menimbulkan masalah tersendiri dalam pelasanaan pengawasan terhadap PPAT dalam menjalankan tugas dan jabatannya.

Pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional terhadap PPAT hanyalah bersifat fungsional saja, dalam arti hanya memberikan pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT dalam melaksanakan jabatannya. Pengawasan yang dilakukan oleh Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah hanya terhadap PPAT yang menjadi anggota IPPAT saja dan berimplikasi terhadap pemberian sanksi, dalam arti apabila PPAT tersebut diketahui melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik PPAT, maka akan langsung diperiksa dan apabila terbukti melanggar Kode Etik PPAT, maka akan diberikan sanksi sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukannya.

 

Video Perbedaan PPAT, Notaris, dan Advokat

 




Diupdate hari minggu tgl 24-01-2021 

oleh Notaris Lumajang - Call Center: 081338999229

Tidak ada komentar:

Posting Komentar